15 Oktober 2018

Tanah Bukit Pecatu (GM Sukawidana)




Jika tanah ini merupakan tanah buangan
untuk para punakawan
mengapa para punggawa mesti merebutnya kembali
dan menjadikannya lahan sengketa?

Di sini
anak cucu pribumi
telah mengakar sampai ke akar karang
dan tubuhnya pohon jati peneduh
bagi kehidupan abadi

Di sini tak mesti ada yang tercerabut
dari akar kehidupannya
hanya sekedar untuk dapat makan enak
dari kerapuhan hak waris para jelata


***
        
Tema tanah banyak dibicarakan oleh GM Sukawidana di dalam buku puisinya, “Upacara-Upacara”. Perbincangan adat-istiadat, tradisi, dan ritual, pasti tidak bisa lepas dari persoalan tanah. Keberlangsungan hidup kebudayaan pun harus diwariskan di atas tanah yang berdaulat, bukan? Bagaimana mungkin jika mereka akan menyelenggarakan upacara dan ritual lainnya jika ternyata tidak lagi bisa dilakukan di atas tanah sendiri? 

Di semua tradisi, persoalan tanah adalah persoalan asasi dan pelik, lebih-lebih di Bali. Terkait Pecatu, ia merupakan desa adat yang wilayahnya terbilang luas, terletak di Kecamatan Kuta Selatan. Konon, yang mendapat hak menggarap tanah di bebukitan itu adalah masyarakat Wetbet Bali Mulia yang ditempatkan secara khusus di bukit. Karena merupakan tanah pemberian dari raja, tanah tersebut pun dinamai “pecatu”. Orang-orang yang menggarapnya disebut “wong pecatu”. Demikian asal-usul nama Desa Pecatu.

#tafsirpuisimanasuka

“Tanah Bukit Pecatu”

Jika tanah ini merupakan tanah buangan (yang tidak dipedulikan, mungkin karena dianggap terkutuk di dalam mitos setempat atau memang tidak subur secara material)
untuk para punakawan (sebutan untuk para pengikut ksatria dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa)
mengapa para punggawa (gelar untuk seorang pejabat lokal; awalnya diterapkan di lingkungan Kerajaan Buleleng, Bali. Karena ada istilah punakawan di larik sebelumnya, maka kemungkinan besar, punggawa di sini dipahami sebagai pejabat pengadilan sebagaimana dikenal dalam dalam jagat pewayangan
mesti merebutnya kembali (padahal mestinya tidak, mestinya menengahi)
dan menjadikannya lahan sengketa? (justru menjadi pamuncak ironi)

Di sini (di tanah yang dipersengketakan itu, status atau keberadaan)
anak cucu pribumi (yakni penduduk setempat)
telah mengakar sampai ke akar karang (bagian ini menjelaskan bagaimana kuatnya orang Bali dalam memegang tradisi tampak jelas pada larik ini, terutama dalam mengurus tanah dan warisan yang berhubungan dengan tanah, tak terkecuali dengan yang sedang dipermasalahkan ini: bukit pecatu)
dan tubuhnya pohon jati peneduh
bagi kehidupan abadi (perlambang sebagai tamsil bahwa yang dilakukan di dalam hidup itu adalah langkah berkelanjutan untuk kehidupan abadi, kehidupan selanjutnya)


Di sini tak mesti ada yang tercerabut
dari akar kehidupannya (ini merupakan keluh penyair sekaligus harapannya, bahwa orang Bali harus tetap teguh pendirian dalam memegang tradisi, terutama menjaga dan merawat tanah sebagai hal yang sangat prinsip dalam kehidupan mereka karena hanya di atas kepemilikan tanah itu tradisi dapat diwariskan dan diturunkan dan berlangsung. Jangan sampai ia dapat ditukar dengan hal yang sangat sepele dan berlaku sementara, seperti bertujuan)
hanya sekedar untuk dapat makan enak
dari kerapuhan hak waris para jelata (yang dimaksud kerapuhan hak waris ini barangkali karena berhubungan dengan soal pecatu, seperti tanah perdikan atau pecaton, beda dengan hak waris anak dari ayah. Sebab itu, penyair mengajak kita berpikir, betapa tidak elok jika mereka yang sudah lemah itu masih semakin dilemahkan hanya demi mencapai suatu kenikmatan berahi dan jasmani semata, bukan karena hak dan kebenaran)

Wallahu a’lam

M Faizi, 10/10/2018



19 September 2018

Gus, Bicaralah! (Sosiawan Leak)



GUS, BICARALAH!
- ambis

bicaralah, gus
siapa lagi di negeri ini
yang kata-katanya meneduhkan hati
maknanya menyejukkan kalbu
selain dirimu?

koran dan majalah mati
kecuali yang pinter memelintir nurani
membangun dunia hanya dengan satu mata
bersama radio yang sekarat di gendang telinga

televisi beternak bencong
pamer aib bersama politisi songong
cendekiawan ngomong sesuai pesanan
agamawan kawe disulap jadi perlente
nabi palsu bersurban kekuasaan
ditahbiskan oleh malaikat gadungan
lantas, jingkrak-jingkrak bersama para iklan
menyanyikan jingle kemewahan
usai ceramah dangkal di alam maya
tentang surga yang selalu memabukkan
atau neraka yang senantiasa mengerikan.
sambil merangket tuhan
mereka berebut ayat-ayat keutamaan
atas nama pribadi dan kaum segolongan

bicaralah, gus
siapa lagi di jaman sekarang
yang ucapannya menjernihkan pikiran
relung renungnya menebar pencerahan
selain sampeyan?

orang-orang sakau agama, mabuk keyakinan
tak mau menunduk, menoleh, melihat ke belakang
cuma menatap cakrawala, memandang bintang-bintang
sembarangan menumpah ibadah dan doa di jalanan
merakit ancaman, meledakkan teror kekerasan
berjubah kesalehan

orang-orang lupa jati diri
alergi imunisasi dini budi pekerti
memuja kebrutalan dan kedigdayaan massa
sambil tuna sejarah dan buta budaya!

orang-orang keranjingan fitnah
menumpuk kebenaran sampah
memulungnya dari jargon demokrasi kuda
menenggaknya bersama adonan kencing onta

bicaralah, gus
jangan cuma di leteh mengaji
menjamu tamu tiada henti
manggung dengan seniman gila dan selebriti wangi

bicaralah, gus
bicara
seperti dulu berseberangan dengan ayahmu demi patuh kepada ibu
kautinggalkan kelas menghindari guru keras
kautolak parlemen yang menawarkan jabatan cemen
berbeda dari para kiai demi merangkul umat yang hakiki

bicaralah, gus
bicara
ibu bumi sendu sendiri
ditinggal putra-putri sejati
sebagian menghadap gusti
sebagian mati suri
yang lainnya malih rupa sengkuni
atau menjelma betara kala
demi mengisap madu dunia

bicaralah, gus
bicara...

solo, 7 agustus 2018

sumber: https://goo.gl/n7b9GK

















* * *

Ini adalah tafsir puisi saya untuk puisi Sosiawan Leak yang saya temukan di akun Facebooknya tempo hari. Saya tidak tahu, puisi ini ditulis spontan atau bagaimana, atau dalam rangka apa. Datum penciptaannya masih baru, yakni 7 Agustus 2018. 

#tafsirpuisimanasuka



 "Gus, Bicaralah!"
- ambis

bicaralah, gus (maksudnya, berikan tausiah atau petuah atau arahan, tentang keteladanan tentunya, atau fatwa apa pun yang menenteramkan di saat sekarang situasinya serba memantik perseteruan)
siapa lagi di negeri ini
yang kata-katanya meneduhkan hati
maknanya menyejukkan kalbu
selain dirimu? (penyair Sosiawan Leak menganggap “Gus” ini sebagai satu-satunya orang yang layak dimintai nasehat. Siapakah “Gus” ini? Kita belum tahu, kita ikut saja. Entah. Tapi, pada dasarnya, gaya seperti ini hanya bentuk penyangatan saja, hiperbola. Barangkali, yang dimaksudkannya adalah bahwa sudah sangat jarang orang yang seperti dia, sangat jarang, sehingga dia mengambil kesimpulan statemen pendek saja: satu-satunya)

koran dan majalah mati (tidak laku, omset dan oplah menurun, dan mungkin mati beneran, tidak terbit lagi)
kecuali yang pinter memelintir nurani (yang berpihak kepada pemodal dan/atau penguasa, meskipun bertentangan dengan suara hati nurani dirinya, apalagi nurani bangsa. Media yang demikian itu akan)
membangun dunia hanya dengan satu mata (sehingga kebenaran tampak tunggal dan tidak dapat ditafsirkan)
bersama radio yang sekarat di gendang telinga (jarang didengarkan atau nasibnya mengenaskan. Heren, mengapa penyair menggunakan radio sementara saat ini jarang sekali orang menggunakan ikon tersebut sebagai bagian dari sumber berita)

Nyatanya, bukan hanya nasib kedua media [cetak] tersebut yang kacau. Media lainnya pun bernasib sama, termasuk media elektronik, seperti radio. Sementara media elektronik yang menguasai pangsa pasar arus utama media saat ini, di Indonesia, tetaplah televisi. Dan ironisnya, sajian dan tayangnnya ampang, tidak mendidik, penuh hura-hura, yaitu ),
televisi beternak bencong (kurang paham, penyairlah yang tahu ke referensi apa/mana ini maksud kalimat ini diarahkan. Mungkin si penyair sangat emosional saat menulis bagian ini)
pamer aib bersama politisi songong (konon, banyak contohnya yang begini dan selalu tayang di televisi [Maaf, saya tidak pernah menontonnya karena memang tidak punya tivi])
cendekiawan ngomong sesuai pesanan (padahal cendekiawan itu mestinya menjunjung tinggi etika kesarjanaan dan intelektualitasnya, tapi mungkin terjadi di lapangan adalah mereka yang ngomong sesuai selera ‘pemesan’-nya)
agamawan kawe disulap jadi perlente (orang yang tidak betul-betul paham agama tetapi industri yang mengarahkannya dan menuntutnya demikian karena—misalnya—unsur selebritasnya yang moncer duluan)
nabi palsu bersurban kekuasaan (“nabi palsu” bisa dipahami literal, yaitu orang yang memang mengaku mendapatkan wahyu dan menjadi nabi di era milineal; juga mungkin tokoh panutan yang sebetulnya memiliki banyak rekam jejak gelap tetapi disembunyikan kepada publik demi publisitas dan, lagi-lagi, industri hiburan dan rating)
ditahbiskan oleh malaikat gadungan (karena palsu, maka sumber ‘wahyu’-nya pasti juga palsu. Apa benar begitu? Kita tidak tahu. Akan tetapi, ada indikator yang menunjukkan. Salah satunya adalah hilangnya muruah, di antaranya)
lantas, jingkrak-jingkrak bersama para iklan
menyanyikan jingle kemewahan (iklan dan jingle kemewahan adalah pendamping kepalsuan mereka semua, ini adalah penyangatan yang dilakukan penyair agar kepalsuannya semakin jelas)
usai ceramah dangkal di alam maya (yang dimaksud “dangkal” adalah persoalan yang terlalu sepele untuk dibahas oleh seorang tokoh agama atau persoalan yang sangat prinsip tetapi dipahami dengan apa adanya. Yang pertama menurunkan derajat kewibawaan pengetahuan keilmuan. Yang kedua malah bahaya karena bisa menyesatkan. Kasus yang kerap terjadi adalah slogan kembali ke Alquran dan Hadis. Apa ini salah? Sangat benar, tetapi tentu saja harus memiliki kapasitas keilmuan yang memadai. Mengapa kita hanya ikut ulama? Karena kita meyakini kemampuan mereka dalam memahami agama dan/atau mereka merujuk kepada referensi utama dari ulama yang mumpuni dan tidak diragukan lagi dalam cara beristinbat dari kedua rujukan utama umat Islam tersebut, beda dengan kita-kita dan seleb-seleb kita yang modalnya terkadang hanya terjemahan).
tentang surga yang selalu memabukkan
atau neraka yang senantiasa mengerikan (dua hal ini memang sepasang tema yang selalu dibicarakan bersama-sama: surga dengan segala kenikmatannya dan neraka dengan segala kesengsaraannya. Kedua tema demikian masyhur dalam redaksi ayat, sabda nabi, maupun kaul para ulama).
sambil merangket tuhan
mereka berebut ayat-ayat keutamaan
atas nama pribadi dan kaum segolongan (oleh karena telah menjadi bagian dari industri dan tontonan, dikungkung oleh banyaknya kepentingan politik dan kekuasaan, maka tidak heran apabila fatwa yang disampaikan, meskipun menggunakan ayat-ayat suci dan hadis nabi, bisa saja diplintir dan dicarikan ‘hailah’-nya demi kepentingan sesaat, kepentingan kelompok dan golongan dan pemesannya. Kira-kira demikian maksud penyair pada bagian ini)

bicaralah, gus
siapa lagi di jaman sekarang
yang ucapannya menjernihkan pikiran
relung renungnya menebar pencerahan
selain sampeyan? (bait ini jelas, tidak perlu ditafsirkan. Tapi, perlu diwaspadai pula, bahwa frase “selain sampeyan” di sini artinya “bahwa meskipun bukan satu-satunya, tidak banyak lagi orang yang seperti Anda”. Bagian ini perlu dijelaskan untuk mengantisipasi adanya pamahaman literal atau pandangan polos dari pembaca yang menganggap ungkapan ini sebagai ungkapan biasa, bukan ungkapan puitis. Kita harus mengacu kepada gaya bahasa sinekdoke, menyebut sebagian tapi yang dikehendaki adalah keseluruhan atau seluruhnya dengan maksud sebagian)

orang-orang sakau agama, mabuk keyakinan (sakau adalah kondisi orang yang sedang ketagihan narkoba; terkadang dianggap sebagai akronim daripada “sakit karena putau”. Ketika sakau disandingkan dengan kata agama, sepintas ia berkaitan dengan ucapan Karl Marx, “agama adalah candu bagi masyarakat”, tapi jelaslah ini bukan demikian maksudnya. Ini tentang orang yang suka memelintir kepentingan sebagaimana dijelaskan pada bait-bait sebelumnya. Lagi pula, ungkapan Marx itu ternyata juga korban pelintiran, sama dengan ungkapan “mens sana in corpore sano” yang juga plitiran, diambil sepenggal sehingga yang semula berorientasi religius [karena lengkapnya berbunyi: “orandum es ut it, mens sana in corpore sano” yang artinya “berdoalah agar kamu punya akal sehat di tubuh yang sehat”] berubah mendadak jadi materialistik. Begitu pula dengan statemen Marx: “Die Religion ist... das Opium des Volks”, padahal yang lengkap adalah “Die Religion ist der Seufzer der bedrängten Kreatur, das Gemüth einer herzlosen Welt, wie sie der Geist geistloser Zustände ist. Sie ist das Opium des Volks” yang artinya kurang lebih: Agama adalah desah napas keluhan yang muncul dari makhluk yang tertekan, hati daripada dunia yang tak punya hati, dan ia adalah jiwa bagi kondisi-tak-berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat."

Karena Marx menggunakan opium dan opium adalah jenis narkotika yang berarti negatif, maka statemen ini menjadi peyor, mengandung kesan miring. Namun, kalau opium yang dimaksud Marx di sini adalah efek kerja opium yang dapat melepaskan katup katarsis orang yang sedang tertekan oleh kehidupan profan yang wadag dan kejam, maka muluslah anggapannya. Dalam konteks ini, Sosiawan Leak menganggap ustad yang menurutnya sudah sakau dan mabuk ini tidak dapat membedakan lagi kebenaran pokok dan kebenaran cabang. Mana yang ushul, mana yang furu’, yang penting dia yang harus benar, karena orang seperti itu adalah orang yang tidak “tahu diri”, dengan ciri-ciri)

tak mau menunduk (tawaduk), menoleh (tidak melihat muqtadal hal, situasi dan konteks), melihat ke belakang (tidak merenungkan masa silam)
cuma menatap cakrawala, memandang bintang-bintang (hanya berandai dan melihat hal-hal yang terlalu tinggi)
sembarangan menumpah ibadah dan doa di jalanan
merakit ancaman, meledakkan teror kekerasan
berjubah kesalehan
(ketiga baris ini adalah metafora bagi keadaan di mana orang-orang lebih gemar melihat yang tampak daripada mahia, daripada inti permasalahan. Dan kondisi seperti ini masih diteruskan oleh si penyair pada bait berikutnya)

orang-orang lupa jati diri (lupa siapa dirinya, sebagai bangsa dan sebagai warga negara)
alergi imunisasi dini budi pekerti (tidak mau menjaga budi pekerti, sehingga tidak kebal terhadap serangan penyakit hasud dan iri dengki. Karena sudah demikian keadaannya, maka mereka)
memuja kebrutalan dan kedigdayaan massa (mereka berani bertindak ngawur karena mempunyai kekuatan massa, tapi si penyair menyayangkan mereka bergerak namun)
sambil tuna sejarah dan buta budaya! (yang artinya, tidak tahu benar bagaimana sejarah negara-bangsa Indonesia ini dibangun oleh para pendiri, para leluhur)

orang-orang keranjingan fitnah (bagian ini masih lanjutan dari yang dikeluhkan, seperti pada bait sebelumnya, yaitu mereka yang)
menumpuk kebenaran sampah (seolah benar, padahal palsu; hoax)
memulungnya dari jargon demokrasi kuda
menenggaknya bersama adonan kencing onta
(kiranya, frase “demokrasi kuda” dan “kencing onta” mengacu pada referensi tertentu, bukan referensi yang umum diketahui orang. Maka dari itu, saya tidak menafsir lebih jauh karena bagian ini bersifat “tertutup”, hanya si penyair yang seperti tahu benar-benar dari yang dikehendaki daripada frase ini)

bicaralah, gus
jangan cuma di leteh mengaji (Oh, Gus di sini Gus Mus, tho? Ya, baru sampai di sinilah ketahuan, bahwa yang dimaksud “Gus” dalam puisi ini adalah Gus Mus karena beliau tinggal di Leteh, Rembang, tentu dengan tanpa menafikan kiai lain yang tinggal di sana)
menjamu tamu tiada henti
manggung dengan seniman gila (maksudnya seperti Sosiawan Leak, he, he, sepurane, Mas) dan selebriti wangi (dan artis yang sering tampil di televisi, artis ibukota]

bicaralah, gus
bicara (diulang lagi, repetisi)
seperti dulu berseberangan dengan ayahmu demi patuh kepada ibu (ini tentu berkaitan khusus dengan cerita Gus tentang beda pendapat terhadap orangtuanya, mungkin beda pendapat soal remeh-temeh atau apa pun, tidak jelas, harus merujuk pada cerita langsung dari sumber rujukan)
kautinggalkan kelas menghindari guru keras (dan ini adalah satu dari bagian cerita itu, sebagaimana juga ditunjukkan dalam wujud sikap konsisten untuk tidak ikut-ikutan arus jika hal itu dianggap tidak tepat, apalagi sesat, seperti)
kautolak parlemen yang menawarkan jabatan cemen (padahal, kebanyakan orang menganggap bahwa menjadi anggota parlemen adalah jabatan yang tidak cemen; ini gaya ironi)
berbeda dari para kiai (yang berbeda pendapat dengan beliau, para kiai yang mungkin mau diajak kompromi dengan kekuasaan dengan iming-iming harta dan jabatan. Semua itu dilakukan si Gus ini) demi merangkul umat yang hakiki (umat yang memang butuh bimbingannya, bukan umat yang butuh bimbingan kalau sama kepentingan tetapi menolak kalau beda tujuan, apalagi tidak menguntungkan)

bicaralah, gus
bicara (diulang lagi, repetisi, sama seperti yang sudah-sudah)
ibu bumi sendu sendiri (maksudnya Ibu Pertiwi, Indonesia, yang kini dalam keadaan sedih)
ditinggal putra-putri sejati (bagian ini mengacu kepada lagu “Kartini”, pahlawan asal Rembang, bahwa banyak tokoh bangsa yang telah mangkat, dan)
sebagian menghadap gusti (alias wafat)
sebagian mati suri (yakni tidak berdaya, baik secara jasmani maupun secara politis)
yang lainnya malih rupa sengkuni (dan sebagian lagi malah berkhianat, seperti dalam wujud yang lain, yakni tokoh antagonis yang lain)
atau menjelma betara kala
demi mengisap madu dunia

bicaralah, gus
bicara...
(diulang lagi, sepertinya ini menunjukkan itikad si penyair untuk ‘memaksa’ Gus agar bersuara lebih lantang lagi, atau sekadar bentuk harapan yang sangat besar kepadanya. Wallahu a’lam)

solo, 7 agustus 2018


31 Agustus 2018

Bermalam di Hotel


Malam panjang bagi bunga yang kuncup di taman
tapi singkat bagi tamu yang mimpinya mekar di kamar

Tak seorang pun lewat
kecuali petugas yang melintas
Satpam di sana, terkantuk tapi bertahan jaga
Koki di dapur, meramu menu dengan air mata
untuk keluarga di rumah yang tidur tanpa dirinya

Sementara di dalam kamar, benda-benda bicara

SEPRAI:

“Seorang lelaki dengan beberapa ajudan, masuk
lalu ditinggalkan sendiri
Yang tersisa hanyalah seorang perempuan
bukan istri dan bukan mahram
Betapa berat hidupku menjadi seprai!”

BANTAL:

“Aku pun mendengar rintihan
keluhan atas siksaan dalam hidup
Helai sapu tangan tak mampu menyerap air matanya
ia lantas menyekanya padaku,
menelungkup ke arahmu.”

DINDING:

“Kadang pula ada anak-anak muda
yang sama sekali tidak kalian tahu
sebab semalam suntuk mereka begadang
padahal di rumah, orangtuanya menunggu.”

KAMAR MANDI:

“Setiap tamu, pastilah pernah masuk ke mari
Mereka membersihkan tubuh dengan air hangat
tapi tak pernah benar-benar mampu
membersihkan kenangannya yang gelap
dari daki masa lalu...”

CERMIN:

“Ada pula yang sekadar berkaca,
melihat wajahnya pada diriku, lama-lama
bahwa kulit dapat dikencangkan
bahwa flek dapat dibersihkan
tapi usia melaju tak dapat ditahan.”

***

Di beranda hotel, sunyi begitu saja
tak ada tawa, tak ada tangisan
tak ada apa pun,
kecuali pramusaji dan petugas kebersihan
yang bergegas dan tak sempat bertanya,
‘di dalam, apa yang terjadi semalam?’
karena semuanya berlalu begitu saja,
seperti biasa
seperti hari-hari biasa

11/2/2018



28 Agustus 2018

Azan di Estrel


Aku dengar azanmu di sana
mengalun pada cahaya yang mengirim cuaca
namun musim mengulur matahari
bersinar lebih lama

Di atas secarik mori aku bersujud,
untuk kelupaan atas banyak hal, banyak nama
namun aku terbenam dalam imaji
tentang kesendirian nan sunyi
tentang suara itu, lima kali dalam sehari

Dari lantai 4, kamar 40404
aku melihat langit yang sama
juga sisa cahaya teja yang sama
namun, hanya satu nada untuk azan
lima kali sehari dari alarm


2/7/2011
© M. Faizi

* Estrel adalah nama hotel. Cek lokasinya di sini 



19 Agustus 2018

Kembalikan Makna Pancasila (Gus Mus)


selama ini di depan kami
terus kalian singkat-singkat pancasila
karena kalian takut ketahuan sila-sila yang kalian maksud
suka-suka yang kalian anut
tidak sebagaimana yang kalian tatarkan
kepentingan-kepentingan sempit sesaat
telah terlalu jauh menyeret kalian
maka pancasila kalian pun selama ini adalah:
kesetanan yang maha perkasa
kebinatangan yang degil dan biadab
perseteruan indonesia
kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan
dalam perkerabatan/perkawanan
kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia
dan sorga kami pun menjadi neraka
di depan dunia
ibu pertiwi menangis memilukan
merahputihnya dicabik-cabik
anak-anaknya sendiri bagai serigala
menjarah dan memperkosanya
o, gusti, kebiadaban apa ini?
o, azab apa ini?
gusti, sampai memohon ampun kepadamu pun
kami tak berani lagi
1998

hak cipta foto ini bukan pada saya
tapi saya punya buku ini
cuma tak ada kamera

* * *
Puisi ini ditulis dengan pola rata tengah. Dengan tanpa bermaksud mengubah niat Penyair melalui topografinya, saya membuatnya rata kiri demi memudahkan penafsiran. Secara tema, puisi ini memiliki semangat perlawanan terhadap penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum anak negeri dalam hal menjarah kekayaan bumi yang ditempatinya sendiri, Bumi Indonesia, dengan cara korupsi dan kejahatan lainnya. Puisi ini saya cuplik dari buku puisi “Album Sajak Sajak A Mustofa Bisri” (editor: Ken Sawitri, terbitan Mataair, 2008), halaman 277. Dan seperti yang saya lakukan atas puisi-puisi sebelumnya, saya menggunakan pola tafsir puisi manasuka untuk menguraikannya.

“Kembalikan Makna Pancasila”

selama ini di depan kami (di hadapan kami, maksudnya adalah perilaku yang tampak oleh kami agaknya berlangsung baik-baik saja)
terus kalian singkat-singkat pancasila (kalian—orang yang dimaksud, yang melakukan kejahatan terhadap negara dan bangsa—selalu menyingkat-nyingkat Pancasila. Yang dikehendaki si penyair  terhadap bagian ini adalah gambaran mereka yang seolah-olah menyampaikan pesan dan ajaran Pancasila sesuka hati, secara sederhana, tetapi sesungguhnya disesuaikan dengan kepentingannya sendiri karena adanya maksud terselubung. Jadi, menyampaikan pancasila dengan cara seperti itu [singkat-singkat] bukan demi menunjukkan kesetiaan, melainkan justru untuk mengambil keuntungan darinya. Artinya, “Kalian itu,” kata penyair Gus Mus, “tidak benar-benar menyampaikan isi Pancasila...)
karena kalian takut ketahuan sila-sila yang kalian maksud (rupanya, “kalian punya pancasila versi suka-suka, versi kalian sendiri”)
suka-suka (kegemaran; hasrat) yang kalian anut (yang dituju; yang dikehendaki. Dan hal itu bertolak-belakang dengan yang diajarkan oleh para pendiri negeri ini yang diejawantahkan ke dalam Pancasila. Tindakan seperti itu adalah munafik karena)
tidak sebagaimana yang kalian tatarkan (melalui penataran P4 [Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila] yang biasanya diterapkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi)

(Kira-kira, andai diparafrasekan, Gus Mus selaku penyair, mempertanyakan sikap itu dengan pertanyaan kurang lebih seperti ini: “Mengapa semua ini terjadi? Mengapa kalian tega bersikap dan bersifat munafik, yakni menyeleweng terhadap ajaran yang justru kalianlah para penatarnya?”. Si penyair lalu menjawabnya sendiri, bahwa hal itu terjadi karena godaan syahwat, karena):
kepentingan-kepentingan sempit sesaat (seperti kepentingan demi meraih kekuasaan dan kekayaan yang)
telah terlalu jauh menyeret kalian (ke dalam kubangan hasrat yang tidak ada batasnya. Oleh sebab itu)
maka pancasila (versi) kalian pun selama ini (adalah “Pancasila KW” yang justru bertentangan dengan Pancasila sejati. Nilai-nilai dasarnya malah berkebalikan. Adapun kelima sila yang dimaksud) adalah:
(1) kesetanan yang maha perkasa
(2)kebinatangan yang degil dan biadab
(3)perseteruan indonesia
(4) kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan
dalam perkerabatan/perkawanan
(5) kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia

‘Pancasila’ seperti di atas adalah ‘iqtibas’ (quotation), yakni proses memasukkan bagian teks tertentu ke dalam suatu gubahan yang baru, baik secara bentuk atau pola saja. Di Indonesia, kita terkadang menyebutnya “plesetan”, tetapi sebetulnya hal itu jauh berbeda karena rujukan utama ‘iqtibas’ biasanya kepada ‘teks besar’ [bisa berupa “tipa utama” dalam teori intertekstual], seperti Alquran dan dalam hal ini teks Pancasila. Jika operasi iqtibas biasanya berupa penggantian kata, plesetan lebih cenderung ke penggantian huruf pada kata tertentu dengan huruf lainnya yang secara auditif nyaris sama dengan kata yang dirujuk. Dengan catatan; adanya perkiraan dan kemungkinan acuan/rujukan yang terjangkau oleh pendengar [atau pembaca]. Adapun bentuk penggantiannya terkadang dengan langkah menukar salah satu huruf intra-frase. Contoh: “telok ceplor” untuk “telor ceplok”)

dan sorga kami pun menjadi neraka (sorga yang dimaksud adalah Indonesia yang dikenal dengan istilah “sepotong sorga yang ada di muka Bumi” di mana “tongkat dan batu jadi tanaman” karena demikian subur tanahnya)
di depan dunia
ibu pertiwi menangis memilukan (acuan ibu pertiwi masih sama, yaitu Indonesia; tanah air)
merahputihnya dicabik-cabik (merah putih mengacu kepada bendera yang dalam hal ini merupakan simbol utamanya. Inilah puncak ironi itu, di mana kesakralannya telah dicabik-cabik justru oleh anak yang disusuinya [karena Penyair mengandaikan Indonesia itu seperti seorang “ibu”]. Mereka itu adalah)
anak-anaknya sendiri (yang rakus dan kejam) bagai serigala
menjarah dan memperkosanya

(Di bagian akhir puisi—yang saya pisahkan menjadi tiga paragraf demi kemudahan dalam menafsir walaupun sebetulnya hanya ada satu paragraf saja—penyair Gus Mus mengajak pembaca untuk melakukan permenungan dengan pertanyaan retoris).
o, gusti, kebiadaban apa ini?
o, azab apa ini?
gusti, sampai memohon ampun kepadamu pun
kami tak berani lagi
(Mengapa penyair mengaku tidak berani memohon ampun padahal tindakan ini memang diperintahkan? Sekali lagi, ini adalah retoris! Memang benar demikian tetapi tidak benar-benar demikian. Lalu? Sebagaimana kita ketahui, memohon ampun itu adalah bertaubat, mengaku salah. Adapun syaratnya adalah berhenti melakukan kesalahan, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Nah, betapa tidak tahu malu artinya jika kita mohon ampun tetapi sambil lalu terus-menerus melakukan kejahatan dan kemaksiatan?)

1998 (menandakan tahun penciptaan puisi; ditulis pada Tahun Reformasi, 1998. Gus Mus, adakalanya, juga mencantumkan tahun penciptaan puisinya dengan tahun Hijriyah yang biasanya dicirikan dengan penulisan tahun berkepala “14”).

Wallahu a’lam

M. Faizi 

13 Agustus 2018

Situbondo (Zainul Walid)


Situbondo
aku bukan Belanda
aku bukan Jepang
yang akan melepas anak-anakmu
dari pelukan kasihmu
lalu menghardik dan mengusirnya

Aku hanya bayi lemah
anak pohon ara-ara
yang dibawa sehelai daun
menyeberangi lautan
sampai ke haribaanmu

Atas kasihmu
kaurengkuh aku, rapat di dadamu
kaulekatkan mulutku pada puting susumu
mengalirlah darahmu dalam darahku
panaslah cintamu dalam cintaku

Situbondo
matahari terus tumbuh
burung-burung ramai berkicau
menyeruak dari lebat alismu

Aku makin mengerti
hidup tak bisa sendiri

Aku memang bukan anakmu
tapi aku telah menyusu padamu
Salahkah aku
bila aku menyebutmu ibu

-------------
Zainul Walid, 7 Agustus 2018

#tafsirpuisimanasuka

sumber foto: https://goo.gl/5oohhW
Puisi yang saya tafsir kali ini adalah karya Zainul Walid. Puisi ini terbit pertama kali di Facebook mengingat waktu postingnya tertanggal datum 7 Agustus 2018 dan saya menemukannya tengah malam menjelang pagi, 8 Agustus. Karena kebetulan lagi senggang dan tidak ada ilham untuk menulis esai atau puisi, akhirnya saya mereka-reka tafsir puisi untuk puisi ini. Puisinya berjudul Situbondo, nama sebuah kabupaten di Jawa Timur, tempat tinggal penyair saat ini.

"Situbondo"

Situbondo (penyair menyebut nama daerah seolah-olah memanggil nama orang, sebagai manusia; insanan. Hal ini dibuktikan dengan larik-larik selanjutnya yang menggunakan sudut pandang aku-engkau)
aku bukan Belanda
aku bukan Jepang (penyebutan dua negara ini jelas mengacu kepada agresi militer, terutama Agresi Militer II Belanda di sekitaran tahun 1947, di mana Belanda menyerbu PP Salafiyyah Syafiiyyah Sukorejo sebagaimana mereka juga menyerang dan menembak Kiai Abdullah Sajjad di pondok Guluk-Guluk. Kedekatan diksi "Belanda" dengan "Situbondo" juga ditandai dengan de Groote Postweg atau Jalan Raya Pos yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Jalan Raya Deandels [mengacu kepada nama Gubernur Herman Willem Daendles] yang membentang dari Anyer [sekarang Banten] sampai Panarukan [di Situbondo]; cek buku “Dua Abad Jalan Raya Pantura”, terbitan Nurmahera]. Demikian pula dengan kata "Jepang" pada baris selanjutnya yang tercatat dalam sejarah pertarungan sengit dan menewaskan banyak orang. Konon, nama Batangan—dekat hutan wisata Baluran—mengacu pada peristiwa ini. Dalam hal ini, penyair yang merupakan perantau dari Madura dan sekarang tinggal di Situbondo, menyangkal diri, memastikan, bahwa ia bukanlah “penjajah”, melainkan semata-mata “perantau”. Adapun penjajah adalah mereka...)
yang akan melepas anak-anakmu
dari pelukan kasihmu
lalu menghardik dan mengusirnya (beginilah ‘kelakukan’ penjajah. Sudah datang ke rumah orang, merusak, merampok, bahkan mengusir penghuninya. ‘Mafhum mukhalafah’-nya: kalau aku tentu tidak seperti itu karena aku adalah perantau, bukan penjajah).

Aku hanya bayi lemah (memposisikan diri di titik terendah [sebagai bayi] adalah salah satu adab orang yang memohon, meminta, atau berdoa)
anak pohon ara-ara (pohon ara-ara ditengarai sebagai cikal bakal penamaan Pulau Madura, tempat lahir penyair; bisa juga dicek dalam kisah "Bangsacara dan Ragapadmi". Makamnya ada di Pulau Mandangin atau disebut Pulau Kambing, Kabupaten Sampang; buku serial cerita rakyat ini terbitan Grasindo),
yang dibawa sehelai daun (ungkapan pengandaian; merantau)
menyeberangi lautan (menyeberangi selat Madura)
sampai ke haribaanmu (“mu” di sini adalah Situbondo. Penyair merantau dari Pulau Madura, menyeberangi selat, dan tiba di Situbondo. Penggunaan kata “haribaan” mulai menunjukkan ke arah mana puisi ini akan ditujukan. Ini adalah pengandaian anak dan ibu, sebagaimana sebelumnya telah digunakan kata “bayi” dan “anak”)

Atas kasihmu (maksudnya, “disebabkan karena limpahan kasihmu kepadaku”)
kaurengkuh aku, rapat di dadamu (ungkapan kasih sayang, belas kasihan layaknya seorang ibu kepada anaknya)
kaulekatkan mulutku pada puting susumu (ungkapan yang sama; bentuk ungkapan penguat bagi larik sebelumnya)
mengalirlah darahmu dalam darahku (pada bagian ini, penyair mengandaikan diri sebagai anak kandung Madura tetapi lalu menjadi anak susuan bagi Situbondo. Maka dari itu, ia menyatakan secara tersirat, susu yang ia ‘mimik’ dari ibu susuannya itu—sebab ia “masih dalam keadaan bayi” pada saat merantau—telah menjadi darah, menjadi daging, membentuk “diri”-nya, semacam “dasein”. Karena itulah, ayoman yang diberikan oleh Situbondo turut pula membentuk kepribadiannya sehingga penyair mengungkapkannya dengan:)
panaslah cintamu dalam cintaku (ungkapan penyangatan).

Situbondo
matahari terus tumbuh (penanda waktu yang berlalu; proses)
burung-burung ramai berkicau (citraan alam sekitar; bisa juga sebagai kasak-kusuk atau pendapat orang)
menyeruak dari lebat alismu (jika Situbondo diibaratkan sebagai seorang ibu, maka seorang perempuan dengan alis yang lebat adalah isyarat perempuan yang cantik secara fisik dan/atau bermakna perempaun yang tegas menurut ilmu tafsir jasmaniah sebagaimana termaktub di dalam kitab khazanah asmara Melayu, cek buku “Mutiara yang Terpendam”; terbitan Malaysia, lupa nama penerbit [buku sudah raib])

Aku makin mengerti
hidup tak bisa sendiri
(Satu bait yang berisi dua baris ini merupakan pernyataan sekaligus peneguhan ke-diri-an si penyair Zainul Walid). Dalam pernyataan ini, terkandung makna bagaimana mestinya hubungan sosial itu dibangun. Para perantau dari Madura yang sangat banyak menyebar di area Tapal Kuda, terutama Situbondo, sudah barang tentu paham soal hubungan dan interaksi ini. Terbukti, mereka hidup layaknya ‘pribumi’ setempat, bahkan sebagian besar tidak kembali lagi ke Madura, menjadi warga baru dan menetap di sana)

Aku memang bukan anakmu (pernyataan pengulangan, sama seperti pada bait pertama: kalimat negasi [pengingkaran] untuk menguatkan pemahanan-sebaliknya)
tapi aku telah menyusu padamu (nah, di sinilah penyair melakukan ‘bantahan’ terhadap pengingkarannya tadi. Tujuannya justru untuk menemukan kekuatannya. Hal serupa terjadi juga pada bait pertama syair I’tiraf-nya Abu Nuwas yang terkenal itu: Tuhanku, “bukan”-lah aku penghuni Firdaus-Mu, “tetapi” aku tak mampu berada di neraka Jahanam-Mu).
Salahkah aku
bila aku menyebutmu ibu
(bagian penutup daripada puisi ini adalah pertanyaan retoris, pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Untuk apa bertanya tetapi tidak perlu jawaban? Tujuan penyair adalah agar pembacalah yang menjawabnya sendiri, karena penyair sudah yakin, bahwa baik dirinya maupun sekalian pembaca sudah “tahu-sama-tahu” atas jawaban itu, yaitu jawaban yang membutuhkan permenungan panjang—dengan mengembalikan seluruh ingatan pada semua peristiwa yang dibangun sejak awal—untuk menjawabnya).

Walla'hu a'lam
M. Faizi, 8 Agustus 2018

09 Agustus 2018

Nyalasar: Bunga Rampai Tafsir Puisi



Belakangan ini, saya sering menulis tafsir puisi. Kerja penafsiran ini bersifat tertutup. Adapun praktiknya adalah menjelaskan kata, frase, atau kalimat dengan cara memparafrasekan (frase atau kalimat) atau mencarikan sinonim (satu kata tertentu) atau menguraikan ungkapan-ungkapan metaforis puisi ke dalam bahasa literal, dan semua itu hanya berdasarkan “semampu gue”.  Tentu saja, ke-semampu-gue-an ini bukan berarti ngawur, lho, ya! Sederhananya begitu.

Meskipun sejauh ini saya menerima tanggapan yang baik dari banyak pembaca melalui langkah ini, tetapi saya juga rada risih atau sungkan, khawatir langkah ini ‘menciderai’ mereka yang melakukan interpretasi sekaligus kritik dengan kapasitas keilmuan yang memadai, sementara yang saya lakukan lebih terkesan iseng. Umumnya, orang melakukan tafsir atau kritik itu demi kepentingan ilmiah (skripsi), atau publikasi (kata pengantar), atau diskusi (makalah). Biasanya, tafsir dalam ketiga jenis karya tulis seperti itu adalah "tafsir sambil lalu", melainkan lebih banyak penekanan kritiknya. Nah, di sinilah bedanya, "tafsir puisi manasuka" yang saya tempuh justru sepenuhnya tafsir puisi dengan nyaris—saya ulangi; nyaris—tanpa ada kritik (dalam arti 'kritik' sebenarnya) terhadap puisi yang saya tafsirkan tersebut.

Landasan yang saya lakukan adalah keinginan bertegur sapa, sebab puisi itu—dalam sementara anggapan saya—cenderung kesepian sebagai karya di tengah masyarakat umum, lebih-lebih di masa sekarang ketika masyarakat yang jangankan suka berpikir mendalam dan mengakar, membaca esai yang sedikit panjang saja malas. Yang laris adalah cuitan, status pendek, atau posting satu baris (one-line-posting), sebuah istilah yang sempat populer di era mailing-list dulu. Sekarang, orang-orang sudah sama-sama sibuk.

Tentu saja, kerja seperti ini menguras energi dan waktu sebab saya harus menggali sebanyak mungkin informasi tentang satu tema yang dibicarakan oleh si penyair yang puisinya saya tafsirkan, juga pekerjaan berat karena harus mengumpulkan ingatan-ingatan bacaan dan informasi yang pernah saya baca dan pernah saya serap sebelumnya, untuk selanjutnya saya olah dan saya tuliskan kembali. Akibatnya, waktu untuk menulis puisi sendiri pun jadi berkurang.  

Saya berharap, apa yang saya lakukan ini dapat merangsang para penyair untuk terus menulis juga merangsang pembaca umum agar lebih mencintai puisi sebab yang semula mereka anggap samar dan rumit kini jadi sedikit terkuak. Tentu saja, tafsir tidak pernah tunggal. Oleh karena itu, baik pembaca maupun si penyair berhak menolak pendapat saya. Paling tidak, bagi pembaca, saya telah merintis jalan agar mereka lebih mudah melaluinya. Pekerjaan "membukakan jalan" ini saya ibaratkan seorang pelancong yang hendak masuk ke dalam rimba makna di dalam puisi itu. Meskipun yang saya tulis bukan puisi, tapi juga tak kalah puitis, bukan?

Menurut Iman Budi Santosa di dalam kata pengantar buku “Nyalasar”, tindakan serupa ini, dulu, sudah pernah dilakukan oleh Saini KM. Makanya, kata dia, adanya buku ini seakan-akan membangkitan ingatan masa lalu. Mendengar kabar ini, saya senang sekali. Sebuah niat gerakan literasi dengan pola yang lain saya harap bermula dari sini.

Penafsiran dimulai pertama kali pada 24 Desember 2017. Ketika itu, Malkan Junaidi menulis puisi di akun Facebooknya, Pisah Ranjang. Entah mengapa, saya tertarik dan langsung menulis tafsir untuk puisinya di kolom komentar. Begitulah, puisi demi puisi saya baca dan saya buatkan tafsirnya. Kerja ini terus berlanjut sampai sekarang (bahkan setelah dibukukan). Saya membuka kembali buku-buku puisi yang menumpuk dan lama tidak tersentuh. Alhamdulillah, berkat proyek tafsir puisi manasuka, buku puisi yang 'kesepian' di rak buku saya itu kini mendapatkan tangan untuk menyentuhnya, merengkuhnya.

Puncaknya, ketika saya menulis tafsir—kalau tidak salah—yang keempat belas, pihak Lembaga Seni dan Sastra Reboeng menghubungi saya dan menyatakan diri untuk siap menerbitkannya. Semula saya ragu karena saya kira ini hanya kerja main-main. Pihak Reboeng meyakinkan saya kalau mereka benar-benar siap membiayai penerbitan ini sepenuhnya. Sip, terbitlah buku ini. Reboeng bahkan juga menyiapkan acara peluncuran dan diskusinya di Taman BudayaYogyakarta, 6 Juli 2018.


Demikianlah kisah perjalanan tafsir puisi yang saya sebut dengan tafsir puisi manasuka ini karena memang saya kerjakan dengan sesuka hati, "semampu gue", tanpa tekanan, tanpa pesanan. Ada 29 esai di dalam buku ini. Keduapuluh sembilan esai tersebut membahas satu puisi dari masing-masing penyair berikut ini: Malkan Junaidi, Ben Sohib, Cyntha Hariadi, Jamil Massa, Sahlul Fuad & Binhad Nurrohmat, Anis Sayidah, Dedy Tri Riadi, WAA Ibrahimy, Joko Pinurbo, Zeffry Alkatiri, Iman Budhi Santosa, Kim Al Ghozali, Abdul Wahid Hasan, Nana Ernawati, Afrizal Malna, Ishack Sonlay, Ahmad Faisal Imron, Nanang Suryadi, Raudal Tanjung Banua, Abdul Wachid BS, Rudi Fofid, Aly D Musyrifa, Sutarji Calzoum Bachri & Sitor Situmorang,  Iyut Fitra, Paox Iben, Nuryana Asmaudi, Acep Zamzam Noor, Made Adnyana Ole, dan Yuli Nugrahani. Lah, mengapa hanya karya mereka saja? Nah, itu dia, pemilihannya pun juga berdasarkan manasuka. 

Semoga kerja ini dicatat sebagai amal saleh.


IDENTITAS BUKU:

Nyalasar: Tafsir Puisi 
Penulis: M. Faizi
Kurator: Nana Ernawati
Editor: Iman Budhi Santosa

Cetakan Pertama, Juni 2018 Halaman: 190
Ukuran: 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-60093-4-0

Penerbit: LSS REBOENG
Jl. Gaharu 1/8 Cipete Selatan, Jakarta Selatan
Email: khususreboeng2016@gmail.com
Web: senisastrareboeng.or.id

HARGA: Rp 50.000

CATATAN: buku ini tidak dijual di toko manapun, hanya bisa dipesan kepada penulis (SMS/telp: 0817392631) 


02 Agustus 2018

Shalawat Tanah (Kyai Matdon)



tangan tuhan menempel di tanah merah
gunung gunung, hutan rimba, pantai, sampai ke darah
dan kuburan kematian
beradab abad sudah peradaban menjadi sejarah abadi
tanah diinjak-injak sekaligus dijadikan tuhan
perumahan diimpikan sekaligus pengusuran
kuburan ditakuti sekaligus menjadi ladang
pembantaian
betapa kekal perpanjangan tangan kabil dan habil

Tuhan tersenyum di tanah-tanah becek, hutan gundul, sungai
kering dan asap industri
Kemerdekaan tanah keadilan terkatung-katung dimainkan
sesepuh iblis;
tanah menangis langit menangis
tanah sedih gunung sedih
tanah dzikir lembah dzikir
tanah lelak kita lelah

Tuhan
kau masih belum lelah kan menampung kata kata tanah?

bandung 1990

Sejak dulu, persoalan tanah kerap berhubungan dengan kekuasaan, konflik, hingga pencaplokan. Lebih-lebih saat ini, persoalannya semakin runyam, melebar ke wilayah agraria. Alih fungsi lahan, penguasaan tanah (secara paksa), kapitalisasi dan privatisasi, adalah serangkaian isu tanah terkini. Isu ini terus muncul dan secara signifikan tidak terselesaikan dengan baik kecuali hanya satu dua kasus saja.

“Shalawat Tanah”

#tafsirpuisimanasuka

tangan tuhan menempel di tanah merah (Ada dua frase kunci pada larik ini, yaitu “tangan tuhan” dan “tanah merah”. Ulama salaf [maksudnya ulama yang hidup pada periode Klasik dalam, antara zaman nabi hingga ulama abad ke 3 hijriyah, yakni masa atba’tabiin, eranya Imam Syafii, Imam Habnali, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan para penyusun Kutub as-Stittah; bukan nama kelompok atau gerakan tertentu] tidak menafsir “anggota tubuh” yang disematkan kepada Allah. Mereka juga tidak menggunakan anggota tubuh yang lain di luar yang memang dipergunakan sendiri oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya, mencakup "tangan", "bersemayam" [istawa/istiwa'] dan "mata". Ulama khalaf [kontemporer], menafsir 'yadun' [tangan]—sebagai perbandingan langsung atau metafora bagi “nikmat” atau “kudrat”. Mereka juga menafsirkan "istawa" dengan “menguasai”.

(Tafsir untuk frase “tanah merah” pun dapat dilihat dari tiga sudut: pertama, konotasi; merah pada tanah menunjukkan keberanian--sebagaimana pemahaman umum; kedua, denotasi, tanah merah sebagai tanah yang berwarna kemerahan, mengandung unsur lempung, kesuburan, dan; ketiga, geografi, tanah merah sebagai nama wilayah/tempat [nama kecamatan di Bangkalan atau nama kota di Singapura). Anda maunya yang mana?

(Adapun bagian berikutnya) gunung gunung, hutan rimba, pantai (merupakan rincian dari “benda/item yang ditempeli tangan tuhan”, sama seperti tanah merah), sampai ke darah
dan kuburan kematian (frase ini merupakan ungkapan penyangatan yang artinya pamuncak daripada seluruh “yang ditempeli tangan tuhan” tersebut.

(Selanjutnya, penyair Matdon membuat gambaran yang lain, gambaran gairah dan hasrat manusia yang lebih mengerikan lagi, tentu saja masih seputar isu tanah sebagaimana tertera pada judul puisi di atas. Tanah, dalam sejarah manusia, adalah ‘aurat’ yang paling menggoda. Ia merupakan harta yang paling sering mengundang syahwat orang untuk bersengketa. Kata para tetua, tanah memiliki daya magis yang mampu membuat seseorang mudah tersihir untuk menguasainya. Sebab itu, banyak petuah yang kita dengar agar berhati-hati ketika hendak membeli atau memiliki tanah. Di sini, penyair Kyai Matdon menyatakan perihal banyaknya bukti itu, tersurat dan tersirat dalam jejak peradaban manusia).
beradab abad sudah peradaban menjadi sejarah abadi (penegasan atas statemen sebelumnya, bahwa)
tanah diinjak-injak (posisinya yang berada di bawah titik nadir manusia maka secara sunnatullah ia diinjak. Pernyataan ini denotatif. Namun, pada bagian) sekaligus dijadikan tuhan, (perumpamaan yang dikehendaki penyair adalah konotatif. “Tuhan” pada anak kalimat ini adalah pengkultusan, sanjungan berlebihan atas keinginan manusia. Penjelasan contohnya terdapat pada larik berikutnya, yakni)
perumahan diimpikan sekaligus penggusuran (orang ingin punya rumah [perumahan] tetapi seringkali pembangunannya diwarnai oleh penggusuran, sebuah pemandangan ironis. Semua itu mengacu pada tanah, sebagaimana)
kuburan ditakuti sekaligus menjadi ladang
pembantaian (bahwa manusia tetap takut mati, tetapi acapkali mereka melakukan pembantaian atas nama apa pun, termasuk penggusuran dan penguasaan modal. Ujung-ujungnya, persoalan tetaplah mengacu ke tanah, penguasaan lahan, pencaplokan wilayah)
betapa kekal perpanjangan tangan kabil dan habil (ini adalah gambaran kejahatan yang dilakukan manusia terkait tema pembuhunan yang diyakini diawali oleh tragedi Habil dan Kabil)

Tuhan tersenyum (apakah makna senyum? Terkadang bermakna setuju, terkadang justru ekspresi ‘nyinyir’, isyarat satire. Bagaimana cara memahaminya dalam konteks ini? Periksa susunan kata-kata berikutnya) di tanah-tanah becek, hutan gundul, sungai
kering dan asap industri (kempat frase ini adalah perlambang kemurungan, kesedihan, atau dampak perilaku buruk yang dilakukan oleh manusia. Kesemuanya itu berada dan terjadi di atas tanah)
Kemerdekaan tanah keadilan terkatung-katung (bahwa status “tanah keadilan” itu nyatanya sangat samar, tidak jelas karena) dimainkan
(oleh) sesepuh iblis (siapa sesepuhnya? Lucifer atau Ifrit. Apa dampaknya?);
tanah menangis langit menangis
tanah sedih gunung sedih
tanah dzikir lembah dzikir
tanah lelah kita lelah
(Keempat kalimat repetitif ini mengandung unsur sebab-akibat, seperti plot, bukan sekadar urutan kejadian belaka. Artinya, jika ‘dilengkapi’, susunannya akan menjadi seperti ini: ketika tanah menangis, maka langit pun ikut menangis [karena bersedih], ketika tanah bersedih, maka gunung pun ikut-ikutan bersedih. Dan manakala tanah berdzikir, maka lembah pun turut berdzikir. Akhirnya, ketika tanah menjadi lelah, maka kita pun menjadi lelah.

(Pada akhirnya, puisi ini ditutup dengan pertanyaan retoris)
Tuhan
kau masih belum lelah kan menampung kata kata tanah? (yang artinya, penyair bertanya kepada Tuhan, satu pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena jawaban memang tidak dibutuhkan sebab semua orang sudah dianggap tahu jawabannya. Tanah terlalu sering jadi ladang sengketa. Korbannya banyak pula, baik raga maupun jiwa. Lalu, mengapa penyair menggunakan kata “shalawat” untuk “tanah”? Sebab penyair masih meyakini atas peran penting Sang Nabi untuk semua urusan ini).

bandung 1990

28 Juli 2018

Komposisi Beethoven: Moonlight Sonata (Weni Suryandari)



Sebagian cerita maha duka dari lirih tempo alunan piano,
adalah komposisi purna menyayat perasaan kehilangan
keindahan musim semi di Vienna, bunga melayu di mataku.

Malam ini bulan tidak bulat purnama bersama sonata
bergulir bagai drama dalam partitur Una Fantasia
dengan tempo adagio, mengelus-elus pendengaran.

Imajinasiku melambung jauh ke pintu peradaban
klasik dalam concerto berirama haru, lalu melambat
seperti bunga-bunga kematian, aku disergap kesedihan.

Jarak di antara dua belas pinus di tepi danau Lucerne,
di hutan empat musim dalam melodi rumit, membawa
kaki berlari dari kejaran hari-hari tanpa jeda. Bukankah
hidup adalah detak detik bergerak, wujud setiap rencana?

Tapi segalanya memang harus berakhir ketika layar
ditutup. Aku tersadar dari sihir partitur klasik pemuja
seni yang mengembara di udara beraroma rindu.
Sebuah kisah terbakar api, tapi puisi-puisiku tetap abadi.

2017-2018

M Faizi, macak nulis di Jembatan Beethoven, Leipzig
Kamis, 26 Juli 2018, sebuah tautan puisi melintas di kabar berita Facebook: sejumlah puisi karya Weni Suryandari yang dimuat di basabasi. Karena kebetulan senggang, saya lantas menulis tafsirnya. Tentu saja, yang saya lakukan ini terburu-buru karena esai tafsir mana suka yang saya tulis ini juga saya lampirkan dalam komentar di tautan tersebut (esai di dalam komentar relatif berbeda dengan esai ini). Berikut hasilnya.

“Komposisi Beethoven: Moonlight Sonata”

(Puisi Weni Suryandari kali ini bertema musik klasik. Definisi Klasik—apabila ia mengacu kepada masa tertentu—dapat diperdebatkan, tapi ketika ia mengacu kepada sonata, lebih-lebih pada karya Moonlight Sonata-nya Beethoven, selesai sudah masalah. Orang boleh berbeda pendapat soal masa itu, periode itu, tetapi mereka akan sepakat bahwa “Moonlight Sonata” [‘moonlight’ bermakna cahaya bulan; ‘sonata’ bermakna komposisi musikal-instrumentalia) adalah satu karya maestro dan virtuoso, Ludwig van Beethoven, seorang komponis Jerman-Austria yang sangat masyhur, atau malah yang paling masyhur. Weni, penyair kita kali ini, berandai-andai bahwa Moonlight Sonata merupakan) Sebagian cerita maha duka dari lirih tempo alunan piano, (bagi penyair, komposisi ini)
adalah komposisi purna menyayat perasaan kehilangan (akan)
keindahan musim semi di Vienna (ibu kota Austria, lidah kita menyebutnya Wina, bukan Weni, apalagi Wine), bunga melayu di mataku (penjelasan dari kalimat sebelumnya; perlambang kesedihan yang mendalam).

Malam ini (yakni pada malam ketika puisi ditulis atau pada saat si penyair mendengarkan komposisi Moonlight Sonata yang membuat dia terinspirasi untuk menulis puisi ini, kondisi) bulan tidak bulat purnama (maksudnya, tidak benar-benar purnama, mungkin perbani, yaitu proses menjelang purnama) bersama sonata (yang menjadi latarnya)
bergulir bagai drama dalam partitur Una Fantasia (Apa partitur Una Fantasia? Adakah varian dalam notasi? Saya kurang tahu. Yang saya pahami, bahwa penyair menangkap situasi dramatis di situ sehingga ia mengumpamakannya dalam frase “bagai drama”. Maksudnya, perpindahan notasi di dalam partitur itulah disebutnya drama, bisa terkait tempo atau birama)
dengan tempo adagio (terkait dengan birama dan jeda; istilah untuk tempo yang lambat, bukan nama koran atau majalah. Biasanya, yang begini ini mengesankan kemurungan atau meditatif, sehingga wajar apabila si penyair merasakan komposisi itu dapat), mengelus-elus pendengaran.

Rupanya, penyair Weni begitu serius mendengarkan komposisi ini. Ia semata-mata mendengarkan, tidak mendengarkan sambil lalu, seperti mendengarkan sekaligus sambil bersih-bersih kamar atau memasak. Pantas saja, komposisi tersebut—menurut pengakuannya—membuat) Imajinasiku melambung jauh ke pintu peradaban
klasik (“peradaban klasik” yang dimaksudkan penyair boleh jadi Abad Pencerahan, tetapi jika menilik redaksi puisi, yang dimaksudkannya agaknya adalah masa-masa abad 16 hingga abad 17-an, yakni masa di mana komposer-komposer musik klasik lahir dan berjaya) dalam concerto berirama haru, lalu melambat (soal ketukan; tempo, yang membuat suasana batin pendengarnya pun berubah. Penyair menangkap kesan kesedihan yang mendalam)
seperti bunga-bunga kematian, (sehingga) aku disergap kesedihan.

Jarak di antara dua belas pinus di tepi danau Lucerne (nama danau indah di Swiss),
di hutan empat musim (maksudnya bukan hutan tropis) dalam melodi rumit (seperti di dalam komposisi, mengesankan sebuah upaya yang rumit di antara nuansa tenang yang tercipta dari sonata. Komposisi itu tak ubahnya kekuatan yang), membawa
kaki berlari dari kejaran hari-hari tanpa jeda (Sebentar, mengapa penyair, kok, tiba-tiba berfantasi terhadap barisan pohon pinus di danau Lucerne? Kemungkinan yang pertama, Moonlight Sonata berasosiasi dengan tempat itu; kemungkinan kedua, penyair bernostalgia dengan tempat tersebut ketika puisi ini ditulis; kemungkinan yang ketiga, penyair sedang membandingkan komposisi klasik ini dengan tempat yang tenang dan sama indahnya dengan citraan yang berbeda indera, semacam sinestesia. Setelah menggambarkan suasana yang berbeda ini, penyair lantas mengajukan pertanyaan retoris:). Bukankah
hidup adalah detak detik bergerak, wujud setiap rencana?

Namun, segala yang ia rasakan, baik itu kesedihan atau kebahagiaan, akan mengalami masanya sendiri. Yang pernah bermula akan pula berakhir. Katanya:)
Tapi segalanya memang harus berakhir ketika layar
ditutup (dan ungkapan ini agaknya merupakan gambaran bagian akhir komposisi Moonlight Sonata, menjelang selesai). Aku tersadar dari sihir partitur klasik pemuja
seni yang mengembara di udara beraroma rindu (bagian ini menunjukkan bahwa si penyair—yang dalam hal ini merupakan pendengar sekaligus penikmat karya-karya musik klasik—sempat terhanyut oleh alunan musik, laksana seorang ‘astral traveler’, melintasi abad demi abad tetapi tetap dalam keadaan tidak berpindah tempat duduk. Demikian pula, komposisi tersebut dapat membawanya melambung jauh ke masa/periode Klasik tetapi tetap dalam keadaan terpekur di depan laptop. Baginya, keadaan ini bagaikan)
Sebuah kisah terbakar api (dan karenanya menjadi musnah. Lalu, apa yang tersisa? Meskipun yang lain akan musnah), tapi puisi-puisiku tetap abadi.

2017-2018

@ M Faizi 

14 Juli 2018

Percakapan di Meja Makan




TANGAN: “Hai, Mulut, bukalah! Bubur ini akan kudulang."

MULUT: “Mengapa engkau kaku saat menyuap?”

TANGAN: “Hanya ini belas tersisa
sebab yang lain telah engkau bagikan
untuk mereka yang mencintaimu di saat lantang,
tapi menghilang kala engkau terbungkam.”

MULUT: “Sungguh, hasratku masih membuncah.
Aku ingin sembuh, berdoa, dan menyembah.”

TANGAN: “Ingatkah saat engkau
menyuruhku menyuap si rakus:
mereka yang tak lapar tapi makan terus-menerus?
Ingatlah saat engkau mampu bicara petah:
memuji penganggur yang selalu minta upah!”

MULUT: “Sekarang aku bertobat.”

TANGAN: “Aku tak mampu membeli obat.”

MULUT: "Sekarang aku pasrah..."

TANGAN: "Tangkup doaku tak juga diijabah."

MULUT: "Hai, Tangan, suapi aku dengan cinta!"

TANGAN: "Sungguh, hanya inilah yang tersisa."

***

Di balik bilik yang senyap
mulut dan tangan saling-bersilang
Mulut bercakap lewat isyarat.
Tangan bekerja melalui syaraf.

Cahaya matahari masih hangat,
orang-orang masih menyambang.
Kesepian bukanlah kesunyian
melainkan raibnya cinta
seiring hilangnya daya pada raga

MULUT: "Lalu, apakah makna hidup sebenarnya?"

TANGAN: "Kita adalah sepasang kekasih
yang tinggal di satu tubuh
denyut jantung penanda hidup bersama
tapi tak ada lagi cinta di antara kita."

23/01/2018 © M. Faizi    


11 Juli 2018

Hanoman di Prambanan (Martin Jankowski)


Hanoman di Prambanan (Martin Jankowski)


saat Hanoman sang raja kera
diam-diam menyerahkan cincin Rama
Sinta tahu dia akan selamat
dan Rahwana akan kalah

sementara ketujuh anak Hanoman duduk
di depan teve di rumah dan menonton
film kartun jepang sedang istri Rahwana
memasak nasi dengan ikan asin dan suami Sinta
menyopir kijang usangnya sebagai taksi liar di Yogya

di Prambanan busur-busur emas berkilauan
cinta akhirnya menang dan para penari
membungkuk dengan anggun di hadapan tamu-tamu
untuk foto digital yang penghabisan

membungkuk di hadapan tamu dari belanda
dari jepang prancis dan jerman sebab
orang indonesia hanya menginjak tempat pertunjukan
mewah di depan candi suci Prambanan
itu sebagai penari atau pelayan

yang lain terlalu mahal


***



Martin Jankowski adalah penyair dari Jerman yang lebih dulu masyhur sebagai penulis lagu dan penyanyi folk. Ia sering melawat ke Indonesia. Martin menulis sebuah novel Rabet, sebuah novel yang mengungkap ‘sejarah yang tak terkuak’ dari gerakan oposisi dalam memperjuangkan demokratisasi. Latar novel tersebut adalah peristiwa reunifikasi Jerman dengan penandaan runtuhnya Tembok Berlin.

Dalam buku “indonesisches sekundenbuch”, ia merekam jejak-jejak budaya perjalanan ke beberapa kota di Indonesia. Salah satunya berjudul “Hanoman in Prambanan”. Buku tersebut diterjemahkan oleh Katrin Bandel dan diberi judul “Detik-detik Indonesia”.

“Hanoman di Prambanan”

Judul di atas merupakan gambaran singkat sendratari Ramayana yang dilangsungkan di pelataran candi Prambanan. Pertunjukan ini bersifat kolosal dan banyak menyedot wisatawan, terutama pelancong dari mancanegara. Tentu saja, pertunjukan yang ditonton oleh si penyair ini bukanlah sekadar pertunjukan tentang Hanoman, melainkan drama penculikan Sinta, sebuah pertunjukan yang salah satu adegannya yang paling terkenal adalah keterlibatan Hanoman.

saat Hanoman sang raja kera (yang di dalam epos Ramayana memang disebut sebagai wanara [kera], ditugaskan oleh Sri Rama untuk menjemput Sinta di Alengka, lalu secara)
diam-diam menyerahkan cincin Rama (sebagai “sandi khusus”, pada saat itu pula)
Sinta tahu dia akan selamat
dan Rahwana akan kalah (Kenyataan ceritanya memang demikian).

Yang digambarkan oleh penyair pada bait pertama ini adalah pengantar untuk masuk ke dalam ruang tafsirnya yang baru dalam memandang Ramayana sebagai wiracarita, juga sebagai pertunjukan, juga sebagai fenomena sosial-budaya. Martin tidak perlu berpanjang lebar dalam menggambarkan agedan “Hamoman obong” ini karena yang sebetulnya ingin dia sampaikan adalah hal lain, yakni konteks masyarakat Jawa-Indonesia yang menyambutnya serta latar sosial dan budaya yang meligkupinya.

sementara ketujuh anak Hanoman duduk
di depan teve di rumah (Nah, pada bait kedua inilah sudut pandangnya mulai diubah. Jika Hanoman pada paragraf pertama adalah tokoh cerita di atas panggung, pada bagian ini, yang dimaksud Hanoman adalah “orang yang berperan sebagai Hanoman di atas panggung”. Makanya, penyair menggambarkan identitas Hanoman melalui “tujuh orang anaknya”, bukan “dua orang anaknya” sebagaimana diketahui dalam pewayangan (Trigangga dan Purwaganti). Tetapi, mengapa di sini ada tujuh? Jumlah itu mungkin untuk menggambarkan situasi ekonomi yang sulit jika ditakar bagi seorang seniman panggung sebagai tulang punggung, tapi memang boleh jadi demikian adanya. Dilukiskan, mereka yang tujuh itu tampak sedang) [dan] menonton
film kartun jepang (gambaran tontonan berdasarkan selera kebanyakan ketika puisi ini ditulis) sedang(kan) istri Rahwana (nah, dalam wiracarita Ramayana, istri Rahwana tidak menempati posisi sentral cerita karena Rahwana sendiri masyhur sebagai penakluk wanita, mempunya banyak istri. Sebab itu, yang dimaksud istri Rahwana pada bagian ini sama seperti pada contoh sebelumnya, yakni “istri daripada pemeran Rahwana”. Rupanya, si istri tersebut juga miksin, tergambar dalam frase).

memasak nasi dengan ikan asin (yang notabene merupakan gambaran kehidupan masyarakat kelas bawah. Penyair juga tidak lupa menggambarkan kehidupan pemeran yang lain, yakni Rama, yang terlukis dengan ungkapan “suami Sinta”, dan penyair tidak menggunakan istilah “Sri Rama”) dan suami Sinta

menyopir kijang usangnya sebagai taksi liar di Yogya (bagian ini juga menggambarkan hal yang sama dengan potret kehidupan keluarga para seniman pemain pementasan Ramayana di Prambanan itu. Yang ini, kebetulan, secara harian bekerja sebagai sopir taksi liar dengan mobil Toyota Kijang sebagai lambang keusangan)

di Prambanan busur-busur emas berkilauan (pada bagian ini si penyair membuat gambaran pertentangan: Jika di dalam kehidupan nyata para seniman panggung itu hidup dalam situasi kesederhanaan, tetap di panggung, mereka tampil dalam keserbamewahan yang dilambangkan dengan “busur emas berkilauan”. Salah satunya adalah karena pertunjukan tersebut adalah pertunjukan kolosal di pelataran candi suci Prambanan. Adapun bagian perebutan Hanoman yang ditugas Rama untuk menejmput Sinta diamsalkan pertarungan antara cinta dan kesumat, di mana)

cinta akhirnya menang (sampai pada baris inilah akhir daripada pertunjukan itu. Kalau diibaratkan, bagian di atas merupkan latar dan pada bagian berikutnya, setelah ini, merupakan kritik penyair dalam menyikapi fenomena sosial secara umum. Penyair Martin menggambarkan) dan para penari
membungkuk dengan anggun di hadapan tamu-tamu
untuk foto digital yang penghabisan (sebagai bagian daripada rentetan acara ‘seremonial’ yang biasa terjadi dan ditemukan di setiap pertunjukan. Biasanya, setelah menyelesaikan pertunjukan, para penampil akan berdiri berjajar di atas panggung, menjura dan membungkuk bersama-sama sebagai salah satu bentuk penghormatan. Di saat yang sama, juru foto dan penonton secara bersamaan akan mengabadikan momen tersebut lewat kamera. Penghormatan yang diejawantahkan dengan cara “membungkuk” sebagai bagian dari tradisi Timur yang juga ditemukan di negara lain di Asia, terutama Jepang dan Cina, menjadi perhatian penting bagi si penyair karena hal itu barangkali tidak mudah ditemukan di negaranya, di Eropa. Sebab itulah, penyair merasa perlu menggunakan repetisi untuk bagian ini, bahkan mengulangnya dalam bait terpisah).

(Para seniman dan awak panggung itu) membungkuk di hadapan tamu dari belanda
dari jepang prancis dan jerman (bagian ini [penyebutan nama-nama negera] sekadar merupakan ilustrasi keterwakilan saja, bahwa pertunjukan yang dilaksanakan di pelataran candi suci Prambanan itu adalah pertunjukan besar dan hebat dan/atau kolosal yang digambarkan si penyair dalam ilustrasi kehadiran para penonton yang datang dari berbagai negara. Hal ini menjadi butir penting) sebab (kata si penyair)
orang indonesia hanya menginjak tempat pertunjukan
mewah di depan candi suci Prambanan
itu sebagai penari atau pelayan (jika bukan penari atau pelayan, penyair melihat pertunjukan itu hanya dihadiri dan ditonton oleh orang-orang asing, orang bule, bukan penduduk dan warga. Tentu saja, orang Indonesia pada umumnya, orang Jogja dan Jawa pada khususnya, juga menonton sendratari di tempat yang lain, di ruang yang lebih kecil. Adapun pertunjukan di Prambanan hanya ditonton oleh mereka yang rela merogoh koceknya lebih dalam. Inilah titik tekan ironi sebagaimana tergambar pada bagaian akhir puisi yang hanya terdiri dari satu baris satu bait saja, satu bagian frase yang sebetulnya secara tata bahasa dapat menjadi serangkai dengan paragraf sebelumnya. Penyair Martin menyendirikan frase di dalam bait tersendiri itu dengan maksud memberikan penekanan melalui tipografi. Dia merasa penting untuk menyampaikan adanya kesenjangan sosial, di mana sebuah pertunjukan kolosal ditonton oleh para bule yang menganggapnya sebagai kebutahan sekunder dan sebagian lain menganggapnya sebagai kebutuhan mewah karena tiket pertunjukan masih tidak terjangkau.

Menurut Martin, “orang kita”, berperan di luar sebagai pelayan atau pemain—misalnya dengan menjadi penonton—di sebuah pertunjukan kolosal di pelataran candi Prambanan itu adalah sesuatu yang mewah dan mahal. Maka dari itu ia menulis: “yang lain terlalu mahal”.

Wallahu a’lam

11/07/2018 © M. Faizi

28 Juni 2018

Di Atas Bukit Kapur


foto oleh Pangapora

oleh M. Faizi

Aku berdiri di atas bukit kapur
melihat pecahan batu-batu
tanpa perlawanan, tanpa senjata
terhadap mesin gerinda

Dari balik serpihan jerubu
samar-samar negeriku tampak maju

Di atas bukit kapur yang tidur membujur
dari Rembang hingga timur ujung pulau Madura
kakiku menggigil, imanku gemigil
tak yakin kalau aku benar-benar berpijak
di tanahku sendiri, tanah leluhur yang berdaulat

Perbukitan kapur tidur membujur,
batu-batu karst tetaplah keras
alam nan hening, terjaga oleh derum mesin
kemarau yang semakin panas

Aku berdiri di atas bukit kapur
melihat pecahan batu-batu
tercacah jadi kerakal, hancur di dadaku

Lalu, apakah guna rintihan
untuk sesuatu yang bukan milikku?
Perbukitan itu, ia seperti dirimu
yang lahir dari rahim seorang Ibu
hanya titipan untuk dirawat dan dijaga
sebab selain itu, tugas ayah memberi nama

Aku berdiri di atas bukit kapur
yang bergeming, tidur di dalam hening
di atasnya tumbuh tembakau
di bawahnya tersimpan mineral
dan aku melihatmu berdiri di bawah
menatapku dengan mata penuh gairah
memanggilku turun demi menyambut cinta
tapi aku tahu, engkau akan naik setelah itu:
untuk menghancurkannya

14/10/2017

27 Juni 2018

Nujum Maut (Mashuri)




dalam remang epitaf, aku temu namamu tanpa penanda waktu
aku mencatat jejak tanggal yang tanggal dari batu
tapi api itu masih berapi dan menyepi di tepi prasasti
segalanya terpendam seperti matahari dalam malam
seperti janji kata pada bunyi, seperti hasrat yang diam di urat
nadi, seperti aku sepasang mata yang lelah membaca
nujum yang tergurat di dedaunan nasib, yang bakal terbelah atau menyatu
di ujung titik atau berbalik...
dalam bayang-bayang, ketika cahaya papa, aku mengetuk jendela rahasia
tapi di baliknya, tak ada sungkawa, tak ada maut, hanya kabut tak habis-habisnya
dalam remang nisan itu, hanya kelahiran
juga perpindahan bentang angka-angka

Yogyakarta, 2011

Kitab puisi "Munajat Buaya Darat" adalah buku kumpulan puisi Mashuri. Di dalamnya ada sekian puisi, tapi saya memilih "Nujum Maut" karena beberapa alasan, salah satunya adalah karena ia cukup pendek sehingga tidak terlalu menguras waktu untuk ditafsirkan. Proyek #tafsirpuisimanasuka ini tidak disokong oleh pariwara atau iklan dari penerbit maupun orangnya meskipun saya ulas dan saya terbitkan berbarengan dengan pemilukada Jawa Timur. Semua ini seperti hidup, serba suka-suka, meskipun yang sedang dibicarakan adalah maut.

"Nujum Maut"

Nujum artinya bintang-bintang. Dalam tradisi Indonesia kebanyakan, yang dimaksud nujum adalah ramalan, terutama yang berpangkal pada rasi bintang. Ilmu perbintangan tidak hanya astronomi, melainkan juga astrologi. Dalam tradisi Islam, perbintangan diaplikasikan dalam ilmu falak untuk menentukan waktu shalat. Namun, sebagian juga menggunakannya sebagai ramalan nasib. Abu Ma'syar al- Falaki adalah satu nama penting di bidang ini.

Melalui ilmu ini, seorang mumpuni bahkan bisa memprakirakan hal-hal rumit dan misterius, seperti kapan helai-helai daun pohon tertentu akan gugur, dsb. Apa pun dapat dinujum. Sebatas memprakirakan, bukan menebak apalagi menentukan sembari meyakini bahwa keputusan tertinggi tetap berada di tangan Tuhan, begitulah pandangan masyarakat umum. Akan tetapi, dalam puisi ini, nujum tidaklah bermaksud ke situ, malah sebaliknya. Penyair sedang ‘meramal’ masa hidup seseorang justru ketika dia sudah mati. Alasannya adalah karena dia ingin tahu jejaknya semasa hidup karena tak ada kabar dan data yang tersisa.

* * *

dalam remang epitaf (epitaf adalah tulisan pada nisan, tapi remang yang dimaksud penyair pada puisinya ini bukanlah penanda suasana, melainkan kesamaran data-data atau riwayat perihal jasad orang yang terbaring di baliknya, di dalam tanah. Hal itu tergambar pada kalimat berikut), aku temu namamu tanpa penanda waktu/ (artinya, penyair hanya sekadar menemukan nama orang, tetapi tidak menemukan data yang lebih dari itu, termasuk soal tanggal dan waktunya: kapan. Penyair juga meneguhkan hal ini pada baris selanjutnya)
aku mencatat jejak tanggal yang tanggal dari batu/ (“tanggal yang tanggal” adalah permainan homograf. Yang pertama bermakna perhitungan hari/bulan, yang kedua bermakna lepas. Penyair menggambarkan data tanggal itu seolah terlepas dari batu nisan. Akan tetapi, meskipun data-data semacam itu penting bagi “dia yang hidup” tetapi “tidak bagi yang mati”, ia menganggap bahwa nilai kesejarahan dan perjuangan si jasad terkubur tetaplah bergelora, seperti api. Pada larik berikutnya, penyair Mashuri menggambarkan)
tapi api itu masih berapi dan menyepi di tepi prasasti/ (di bagian ini, penyair lagi-lagi bermain bunyi pada kata-katanya. Artinya, semangat dan hasil perjuangannya tetap terbaca, tetap kelihatan bagi mata penyair yang nanar meskipun ia sepertinya tersamar, pada prasasti yang ada di areal kuburan. Situasi seperti ini ia gambarkan seperti matahari yang menyebabkan “malam di sini” tetapi “siang di tempat lain”. Ungkapnya:)
segalanya terpendam seperti matahari dalam malam/ (dan karena merasa penting untuk menggambarkan jasa-jasa mendiang yang berkalang tanah itu, ia membuat dua perumpamaan lagi) seperti janji kata pada bunyi (yang terkadang memang dibutuhkan unsur auditifnya, wabil khusus dalam puisi mantra), seperti hasrat yang diam di urat/
nadi/ (bagaimana hasrat seseorang yang tidak tersurat dan bisa ditangkap oleh mata inderawi, melainkan nampak nyata mengalir di urat nadi, pada syaraf-syaraf, sehingga seseorang yang terkena stroke—misalnya—hanya tinggal punya hasrat, tetapi perintahnya tidak dapat ditunaikan melalui ‘urat-urat nadi’ itu karena ada masalah pada sistem sensornya, pada motoriknya. Penyair juga menjadikan dirinya sebagai tamsil), seperti aku sepasang mata yang lelah membaca/ (merasakan dirinya menjadi mata yang lelah membaca, yang capai dalam meramal dengan)
nujum yang tergurat di dedaunan nasib/ (“dedaunan nasib” adalah metafora rahasia [sebagaimana dijelaskan di muka: tentang ramalan daun melalui nujum], yang bakal terbelah atau menyatu/
di ujung titik atau berbalik.../(maksud daripada dua larik ini adalah sama, yakni tentang kemungkinan dari hasil nujum; terbelah atau menyatu; ujung titik atau berbalik. Dengan demikian, penyair tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa nujum adalah upaya mendekat untuk ‘melihat’ takdir berdasarkan tanda-tanda, dengan peta langit atau tanda alam lainnya, bukan meramal dan memastikan, apalagi menetapkan keputusan).

dalam bayang-bayang, ketika cahaya papa (bagian ini sama seperti baris pembuka, akan tetapi, remang pada bagian ini bermakna denotatif, remang sungguhan, yakni situasi nisan/makam di malam hari karena rendah cahaya, cuma penyair menggunakan diksi ‘papa’ yang artinya miskin atau yatim. Upaya ini adalah untuk menyangtkan, terbukti penyair lantas membenturkannya dengan upaya penggalian rahasia yang mestinya membutuhkan limpahan penerangan, banyak data), aku mengetuk jendela rahasia/ (dan pernyataan ini pun masih dipertentangkan lagi dengan baris berikutnya)
tapi di baliknya, tak ada sungkawa, tak ada maut (sudah situasi makamnya remang, tidak ada petunjuk apa pun, malah digambarkan dengan tiadanya kedukaan, bahkan tiadanya tanda kematian, di balik tempat yang didiami oleh “orang yang mati” itu. Lalu, apa yang tersisa?) hanya kabut tak habis-habisnya/ (kabut adalah perlambang kesamaran. Dengan begitu, situasinya semakin dekat dengan diksi “remang” dan “cahaya papa” di atas)
dalam remang nisan itu, hanya kelahiran/
juga perpindahan bentang angka-angka/ (puisi ditutup dengan lukisan perihal proses manusia menjalani hidup, bahwa sebetulnya kita hanyalah angka-angka di tahun lahir dan disudahi dengan angka di tahun terakhir. Di bentangan itulah manusia hidup, menjalani kehidupan. Adapaun karya, jasa, dan amalnya akan melampaui itu semua).

Wallahu a’lam.

© M. Faizi, 27 Juni 2018

Keterangan:
1.      Lambang “ / “ adalah tanda akhir baris
2.      Semua huruf memang ditulis dengan huruf kecil