27 Agustus 2014

Malam dan Dua Rute Kepulangan (Ulasan Buku "Permaisuri Malamku")


oleh : Achmad Faqih Mahfudz

Selain keheningan dan kesunyian, adakah yang dapat kita tangkap sekaligus kita rasakan dari malam? Malam berbeda dengan siang, tentu. Tentu bukan hanya dengan seumbul alasan bahwa di siang hari ada matahari yang membuat bumi cerah sekaligus panas serasa dipanggang, bukan pula karena di malam hari seisi bumi gelap gulita atau indah oleh kerlip bintang dan benderang rembulan. Lebih dari itu, malam hari adalah waktu yang tak biasa, waktu yang sublim, waktu yang tepat untuk sejenak istirah dari segenap aktivitas hidup. Istirah dari segenap keriuhan yang berkelindan dan centang perenang.

Manusia mengenal malam sebagai waktu istirah, setelah sehari penuh, kala siang, membanting tulang demi mencari mata-pencaharian. Tapi sekali lagi, bertolak dari segenap ihwal yang demikian, selain gulita, selain geriap gemintang maupun marang cahaya bulan, adakah yang kita kenal dari malam? Adakah kita benar-benar mengenal “makhluk” bernama malam? Patah waktu yang menyunggi gulita dan menjinjing hening tak tepermanai, sunyi yang menghunjam.

Adalah M. Faizi, penyair yang mencoba mengurai dan mengungkap fenomena—langit—malam dengan puisi. Lewat kumpulan puisi Permaisuri Malamku ini, Faizi mengungkap ketakjubannya sebagai penyair—maupun sebagai seorang manusia—yang memiliki hubungan sublim dengan malam. Meski kita tahu, malam dan penyair adalah sepasang kekasih yang tak dapat dilepaskan. Hampir semua penyair pernah mengungkap malam dalam sajaknya. Hampir setiap penyair pernah menulis sajak perihal malam. Namun dalam konteks ini, sepertinya hanya Faizi, yang secara penuh-seluruh memuisikan malam dalam sebuah antologi puisi utuh. 41 puisi dalam antologi ini tak ada satu pun yang tak bertajuk malam. Tapi meski demikian, meski keseluruhan tema puisi dalam kumpulan ini bertajuk malam, buku ini tetap buku puisi, bukan buku astronomi.

Muasal dan ilham sekumpulan puisi dari buku setebal 114 halaman ini adalah pada sebuah malam di pertengahan agustus 2007 silam. Tepatnya ketika Faizi bertemu Hendro Setyanto, astronom muda yang ia kenal dan malam itu membawanya pada perbincangan seputar langit malam. Perbincangan ini rupanya membekas dan membuat sang penyair tak nyenyak tidur semalaman. Ia kemudian pergi ke halaman, mematikan lampu seraya menikmati pemandangan langit malam. Ketakjubannya pada malam, saat itu, tak sudi ia nyatakan dengan teleskop hanya untuk melihat dan menghafal nama-nama bintang. Malam itu, ia pun tidak merasa perlu mempersoalkan kegandrungan masyarakat pada rasi dan astrologi daripada astronomi. Sebagaimana diungkapkannya pula, saat itu, ia hanya ingin menuangkan ketakjuban-ketakjubannya pada langit malam ke dalam puisi. (hlm 6-7).

Dalam puisi-puisi Faizi ini, malam bukan hanya bagian dari makhluk bernama waktu, tapi jagad kosmik tempat ia bercermin pada alam dan kehidupan. Baginya pula, malam menjadi ruang di mana ia mengkaribkan gurun-gurun jiwanya dengan semesta keteduhan, keheningan, yang kemudian membuatnya harus pasrah bertekuk-lutut pada apa yang mungkin dapat disebut sebagai keimanan.

Selain malam sebagai bagian dari waktu, sebagai fenomena yang membuat sang penyair takjub tak berkesudahan, ada dua hal yang amat mendasar dan dominan dalam Permaisuri Malamku. Pertama, penyair memulangkan seluruh anasir puitiknya pada Ia Yang Transenden, Yang Tunggal dan Yang Tak-Tepermanai. Ini dapat ditemukan dalam hampir keseluruhan buku puisi ini, misalnya:
...
rukyatul hilal
mengapung lalu tenggelam
di dalam dua kubangan
angka dan pandangan
fana, fana, fana
sebab yang baka
hanyalah untuk Yang Esa
...

(Rukyatul Hilal, hlm. 23)

...
iman untuk yang baka
amal untuk surga
seperti hamparan imajinasi
yang maujud namun perlina
seperti warna kelam pada malam
...

(Catatan Malam, hlm. 28)

Atau ketika dengan pasrah dan samar-samar batinnya berkata:
 ...
wahai pemilik nasib
panjangkanlah malam
aku ingin menjamu tamu dini hari
sebagai cahaya di bilik gelap

sehingga nikmat ini
tak menyiarkan iri-dengki
saat besok pagi terbit matahari
...

(Tamu Dini Hari, hlm. 32)

Puisi-puisi demikian, yang meneguhkan maqam (tingkatan) aku-lirik (penyair) sebagai seorang hamba dari Ia Yang Tak Tepermanai begitu mendasar dalam Permaisuri Malamku. Bait-bait puisi yang demikian, dapat kita temui dengan mudah dalam buku keempat dari penyair yang juga kiai di sebuah pesantren di pedalaman Madura ini.

Kedua, kepulangan pada bahasa. Inilah mungkin ciri-khas yang membedakan Faizi dengan penyair lain. Bila penyair-penyair kebanyakan—barangkali—telah merasa "cukup" dengan perbendaharaan bahasa yang ada, Faizi berbeda, ia mencoba mengeruk-ngeruk kembali kata demi kata yang telah lapuk dan aus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bagi Faizi, estetika dalam (ber)bahasa mungkin tak hanya ketika kata dan daya ungkap penyair penuh majaz atau metafora, tapi juga ketika ia adalah kata yang selama ini di-"anak-tirikan" dalam (ber)bahasa. Sehingga tak aneh bila kemudian ketika membuka lembar demi lembar buku puisi ini kita akan bertemu pada beberapa kata yang begitu asing di telinga, semisal: arku, arik, danguk, duaja, jumantara, kadru, penaka, pepindan, perbani, perlina, puadai, serlah, janabijana, peterana, taram, rujah, peresih, nebula, dan banyak lagi yang lainnya.

Suku kata seperti di atas banyak ditemui dalam buku ini, meski sebenarnya usaha demikian telah Faizi terapkan semenjak tiga buku puisi yang ia tulis sebelummnya: 18+ (Diva Press, 2003), Sareyang, Lirik Penunggu Kesunyian (Pustaka Jaya, 2005), dan Rumah Bersama(Diva Press, 2007). Dengan upaya ini, upaya untuk kembali pulang ke "kampung bahasa", Faizi seakan menegaskan kerisauannya pada bahasa kita: Bahasa Indonesia. Ketika saat ini kita lebih merasa nyaman dan damai menggunakan bahasa asing, bahasa bangsa lain, bahasa yang bahkan—kadang—membuat kita kehilangan identitas dan jati diri budaya bangsa sendiri.

Permaisuri Malamku adalah risalah puitik perihal malam. Malam sebagai ketakjuban, malam sebagai anugerah yang menawan, malam yang membawa dua rute kepulangan: pada Ia Yang Tak-Tepermanai, berikut kepulangan ke "kampung bahasa".

Buku kumpulan puisi ini, mungkin akan semakin hikmat bila dibaca dengan cara duduk atau rebahan di halaman rumah sambil menikmati desir angin di bawah langit malam, menikmati kerlip bintang dan marang cahaya bulan, sembari sesekali melihat serta mendengar semayup lirih batin Faizi yang berdenyar-denyar lalu menyerlah di awal kalam: ...

pendar gugus bintang semesta raya
jika engkaulah alamat kebenaran
maka perkenankan, sepanjang hidupku menjadi malam..

(Surat Cinta untuk Malam, hlm 15).

Selamat malam, selamat membaca..

Yogyakarta, Juni 2011