31 Desember 2009

Di Maqbarah Tebu Ireng


—من لم يحـزن بموت العـالم فهو منـافـق—


Aku mencium karomah di sini
wewangian yang tersedak
manakala aku terlalu dalam menarik napas
tapi terlalu menyengat
kalau kubiar saja melintas

Di maqbarah ini,
betapa tubuh jadi kaku
melihat senarai nama
ulama-ulama yang berjuang membela negara
ataupun yang gugur melawan kebodohan

Santri yang membaca dan menghapal Al-Quran
para tamu, dan juga mereka yang hadir
di luar batas mata-penglihatan
berkumpul di sini, di maqbarah ini

Aku bergidik:
adalah ilmu sebagai tanju
merawat si empunya dari gelap waktu
aku menakik:
adalah istiqamah ‘ainul karomah
kemuliaanlah bagi seisi maqbarah

Tiba-tiba, serasa seseorang menepuk bahu
saat aku meninggalkan tempat itu
seolah melarangku pergi
“Hendak ke mana?”
aku tak menjawab dan terus melangkah
ke luar areal maqbarah
menjejak, tertunduk memandang ke bawah

“Alangkah bahagia engkau, Tanah
dipilih alim-ulama jadi maqbarah…”

23/8/2008

28 Desember 2009

Mertajasa




Apakah engkau mendengar salamku?
atau mencium wangi dupaku?

Aku datang
menabur bunga
menabur doa
tanpa benar-benar tahu
apa sesungguhnya yang terjadi di sana

Dalam hukum ruang-waktu, kami di sisimu
tanpa benar-benar tahu
karena dekat dan jauh
menyatu, menjadi satu, dalam rahasiamu

7/11/2009


06 Desember 2009

MALAM: BERJALAN DI PEMATANG




Berjalan saat malam
di sempadan tanah perdikan
menelusuri pematang demi pematang
malam ke-16 kala itu
purnama lebih gemilang
daripada satu malam sebelumnya
karena langit cerah dan terang

Aku mendongak untuk melihat
hamparan langit yang biasa
lalu menunduk ke dalam puisi
takjub
karena menulis adalah mengamati

Berjalan di pematang,
malam-malam di bawah sinar purnama gemilang
aku berandai: cahaya kota dipindah ke kampung
atau desa menjadi kota karena pemekaran
lalu kesibukan berseliweran
siang dan malam hanya beda warna
bukan pada jam dan jadwal kerjanya

Aduh, malam!
polusi cahaya melukai aura gelapnya
oh, bulan!
cantik tidak berarti harus bersinar
malam dan purnama di pematang
hanya indah di saat rendah cahaya,
saat gelap dan terang
berpadu dan bersalam sesuai kodratnya

4/11/2009

16 November 2009

Setelah Menjadi Ibu


Setelah menjadi ibu

Widadah lalu pergi selamanya

Usai operasi, melahirkan dua anak kembarnya


Widadah telah pergi meninggalkan hidup

saat sang buah hati baru saja belajar menjalaninya


Widadah baru saja menjadi ibu

Lalu ia meninggalkan hidup, tangisan, dua yatim,

kesedihan yang berkepanjangan


Setelah menjadi ibu

Widadah lalu pergi selamanya

usai menyerahkan napas

untuk kedua anak kembarnya


Itulah ibu

entahlah anak


16/11/2009

01 November 2009

BAGAIKAN SUPERNOVA



Membaringkan engkau
di balai-balai bambu depan rumah
di bawah rimbun pohon leci
sebatang kara

Lihatlah bulan menyerlah
sebelum tanggal 15 almanak kamariah
datang membelah
aku mengintip bintang-bintang
berguguran seperti serpihan salju
merambah bumi Asia di garis khatulistiwa
seperti senyum makhluk bersayap
yang entah dengan tamsil apa akan kuungkap

Malam itu, saat engkau pergi
tak terlihat gugusan kabut, galaksi
yang biasanya menghablur dalam mata telanjang
di saat cerah pada mataku yang lamur

Dan, manakala jasadmu telah dipendam
diperam bersama wangi tanah berkalang
di saat ruh pergi ke atas atau ke entah
aku mendesah:
nyawa, semisteri antariksa-kah engkau?

Supernova, supernova!
aku memanggil, menggigil
karena itu yang sedikit kutahu
yang cemerlang jelang tiada

31/08/2009

25 Agustus 2009

Nubdzah min Qashidah al-Burdah



(1)
Adakah karena kaukenang seorang kawan di Dzi Salam
Lalu kaucampur darah dan air mata dalam tiap tetesan?
(2)
Atau, apakah karena tiup angin dari arah jalan nuju Mekah,
ataukah tersebab dari arah Idham-lah
kerjap kilat menyergap di malam gelap?
(3)
Jangan menangis!
Tetapi, mengapa engkau menangis justru pada saat mengatakannya
Oh, Hati. Tenanglah!
Tapi saat itu, justru hatimu dirundung gelisah
(6)
Mungkinkah engkau berpaling dari cinta
Yang telah disaksikan tangis dan sakit dukana?
(9)
Kumaafkan, kalau engkau mencaci
atas cinta udzri-ku yang tulus dan suci
Namun kalau saja engkau yang merasakannya
pastilah caci-cercamu akan terhenti
(10)
Kini, semua sudah kusampaikan dan rahasia tiada lagi
Namun, sungguh apa pun yang terjadi
Sakit cinta ini tak akan pernah kunjung terobati
(11)
Engkau telah menasehati, tapi aku seorang tuli
Karena orang yang sedang dilanda cinta
Tak dapat mendengar caci-maki pun cerca
Allahumma shalli ‘ala Muhammad
(36)
Sang kekasih: dialah nabi tumpuan syafaat
Di tiap dera bencana kita limpung tersebat
(42)
Pesonanya tiada tepermana
Puncak ciptaan, tak termisal, pada manusia, tak terpemana
(45)
dan, keutamaan sang rasul tak ada batasnya
Yang mampu dilukis lewat ucap maupun kata-kata
Inna Allaha wa malaikatahu yushalluna ‘ala an-nabi
Ya ayyuhal ladzina amanu, shallu ‘alaihi wa sallimu taslima
Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaih

23 Agustus 2009

Puasa Tahun Ini


Puasa kali ini sama seperti tahun lalu

yang membedakan hanyalah

usia bertambah jumlah


Malam tarawih, masih seperti tahun lalu

sholat sunnat yang terasa berat

dan shaf-shaf berkurang di malam likuran

malam-malam lailatul qadar


Ada yang tidak berpuasa

makan-minum di tempat umum

sambil tersenyum hampir ketawa

“puasa ‘kan hanya untuk orang tua?”


Puasa untuk yang percaya

bahwa setahun penuh

telah banyak racun mengendap

dalam sel-sel tubuh kita

bukan karena makanan kurang gizi

ataupun minuman yang tercemar polusi

tapi karena tak higienis di mata syariat

sebab haram atau syubhat


31/10/2004


09 Agustus 2009

Mengenang Rendra


Kepergian si Burung Merak, WS Rendra, Kamis 6 Agustus 2009, membuat saya teringat 14 tahun yang silam, saat untuk pertama kalianya saya berjumpa dengannya dalam sebuah acara budaya. Saya, sejujurnya, tidak mengenal banyak perihal sastraawan ini, WS Rendra. Saya hanya sekali berjabat tangan dengannya, lalu mengikuti acaranya, dalam rangka peresmian Gorong-Gorong Budaya di Sawangan, Depok. Waktu itu, saya diajak oleh Mas Jadul Maula dan Mas Mathori A. Elwa menjumpai Hasif Amini dan Sitok Srengenge. Kenangan saat itu, 2 April 1995, pada saat ini, kucoba reka-reka kembali.

“Sajak Seonggok Jagung”-nya WS Rendra adalah sajak pertama yang memperkenalkan saya dengan beliau. Saya sangat terkesan dengan sajak ini, meskipun sebelumnya juga pernah terbuai dengan “Rick dari Corona” semasa SLTA.

Sajak ini melukiskan alienasi, potret manusia yang terasing, atau sengaja menjauh, dari lingkungannya. Saya melihat, dan bahkan turut merasakan, betapa para mahasiswa seperti saya, di kala itu, akan punya perasaan aneh campur sedih semacam “Sajak Seonggok Jagung” ini, jika direnungkan. Maka, dengan sangat mantap saya katakan, bahwa puisi tersebut kemudian membuat saya terinspirasi untuk menulis puisi “Bila Aku Pulang Nanti” berikut ini (yang dsaya tulis beberapa bulan sebelum pertemaun itu).



BILA AKU PULANG NANTI

—salam hormat untuk W.S. Rendra


Bila kelak aku kembali

setelah lulus menjadi sarjana

apa yang akan aku berikan

jika anak-anak itu menyambutku

dengan senyum polos

meminta bercerita tentang kota

kampus dan mahasiswa?


Kalau aku pulang nanti

apa yang akan aku berikan

jika yang mereka pinta

bukan toga dan skripsi

bukan catatan dan diktat

yang terarsip rapi?


Jika aku pulang nanti

dengan sekoper piagam

dan makalah-makalah seminar

apa yang akan aku berikan

jika yang mereka pinta bukanlah gelar?


Setelah aku pulang nanti

tiba di kampung halaman

dengan perasaan berbunga-bunga

apa yang mesti aku katakan

jika telah habis

apa yang harus kukatakan

jika harus belajar lagi

apa yang akan dikatakan?


10/1994

01 Agustus 2009

Kisah Pak Madi, Budi, dan Kancil yang Suka Mencuri Timun

Betul, lirisme telah menguasai jagad perpuisian tanah air. Tidak seorang pun yang luput dari ketetarikan untuk menulis gaya begini. Yang membedakan hanyalah kekerapan, konsistensi, kecenderungan. Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad telah melakukan penjelajahan untuk menemukan ramuan-ramuan baru, dengan cita rasa yang segar, tetapi tetap saja, aroma lirisme menguap dari sana.

Lirisme itu mendayu, tetapi gagah
lirisme itu menyayat, tetapi nikmat
saya pun turut, larut, dan juga menulis 'ala wazni lirisme, tetapi sesekali slengekan dan sembarang, meletup dan wajib pula tertuang:

KISAH PAK MADI, BUDI,

DAN KANCIL YANG SUKA MENCURI TIMUN



Kerbau Pak Madi ada tiga ekor

dari dulu, hanya tiga ekor


Budi anak Pak Madi

masuk perguruan tinggi favorit

seekor kerbau keluar kandang

modal pintar ternyata cukup mahal

Pak Madi membanggakan Budi

seperti ia mengandalkan kerbaunya

ia rela membayar mahal, demi fasilitas

buat apa biaya minim

tetapi sarana serbamiskin?


Pak Madi berbahagia

Budi sukses meraih beasiswa

lulus dan langsung bekerja

karena sangat pintar

Budi dilamar perusahaan multinasional


Kini Pak Madi buka usaha baru

tandur palawija, menanam mentimun

tapi sayang, ada kancil yang selalu mencurinya

Pak Madi seorang diri, tak mampu menjaga taninya

sementara Budi berda di luar negeri

sebab terlalu pintar, ia tak dapat membantu ayahnya

orang pintar selalu jadi komoditas non-migas

karena itu, Budi lebih bangga jadi Eropa

dari pada punya KTP Indonesia

dan karena itu,

ia bahagia bersama anak-bininya di sana


Kerbau Pak Madi tiada lagi

mentimun pun habis sama sekali

kancil yang cerdik dan pintar mencuri

atau Pak Madi yang bodoh dan mudah dikibuli?


Oh, pendidikanku

mencetak siswa pinter seperti kancil,

nanti kepinteren, malah meminteri

seharusnya, pendidikan menanamkan moral

karena moral adalah modal

dan kancil tidak mau mencuri moral

ia hanya suka mencuri timun


4/2/2007



06 Juni 2009

JEMPUTAN

—Terminal Bis Tirtonadi


Malam ini, di terminal ini
masa lalu tiba-tiba membayang
déjà vu, dalam lirik pilu reminiscence
suasana hangat di gagang telepon
setiap lepas pukul 20 lewat sekian

“Yah, aku Pulang..”
“Ya, aku jemput!”

Cakap kelu
bertahun lalu
romansa
memorabilia

Malam ini, di Terminal Tirtonadi
selepas pukul 20 lewat sekian
seperti pada tahun-tahun yang silam
aku mencari, di mana letak wartel itu?
aku ingin menelepon seseorang:
“Yah, aku pulang
jemput aku besok pagi..”

Malam ini, wartel itu tak ada
nomer tujuan juga tiada
seiiring pula tak kubayangkan:
siapakah yang akan menggubit
menyambutku pulang
begitu kaki menjejak tanah
di pertigaan itu?

“Ayah, aku pulang!”

Aku terisak
alangkah mahal jemputan
bagi sebuah kepergian

4/06/2009

12 Mei 2009

DIGRESI DALAM ROMAN HIDUPMU



Dalam cerita panjangmu
bab-bab dibuang oleh redaktur
aku menjadi orang ketiga
dalam roman yang kaususun

Apa yang kutahu dalam imajinasi
adalah mereka-reka jalan cerita
ke mana hendak aku akan kauletakkan
dalam konflik batinmu?

Ini adalah roman terakhirmu
yang untuk pertama kalinya
meletakkan aku sebagai tokoh utama
dari sudut pandang orang pertama
dan sebelum roman itu diterbitkan
engkau mengutip diktum objektivisme:
“membuang sebanyak mungkin yang tidak kausuka
bukan menambah sebanyak mungkin yang engkau cinta”

Hmm…
jadilah aku digresi,
serpihan cerita tak perlu
maka sebagai cerita,
romanmu telah kehilangan roh prosa
ia telah menjadi lirik
yang hanya butuh pendengar,
tak butuh pembaca

5/11/2008


20 April 2009

Untuk adik-adik kelas akhir SLTA, saya ucapkan "selamat menempuh ujian nasional, semoga selamat sampai tujuan!"

UJIAN

Pilihlah jawaban di bawah ini yang menurut Anda paling benar:

1. Di bawah ini, yang mengacu kepada nasib bangsa Indonesia saat ini adalah, kecuali:
A. Stabilitas nasional
B. Biaya pengobatan dan kesehatan gratis
C. Pendidikan murah dan merata
D. Pajak dipergunakan sesuai mestinya

2. Sejak lengsernya rezim Orde Baru, kondisi pemerintahan kita berada dalam keadaan:
A. Rupiah bersaing dengan dolar
B. Harga BBM sangat terjangkau
C. Korupsi diberantas ke akar-akarnya
D. Semua pencoleng dipenjara

3. Yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kualitas hidup rakyatnya adalah:
A. Diberi pinjaman supaya ngutang tanpa membayar
B. Disubsidi beras agar tidak mengamuk ketika lapar
C. Diberi janji-janji, meskipun nanti diingkari
D. Dibiarkan menuntut, tetapi kehendak dibatasi

Sementara aku masih sibuk berpikir:
‘sekolahnya beda, gurunya beda
fasilitas dan prasarananya pun berbeda
kok standar penilaiannya bisa sama?’
tiba-tiba, kriiing…
waktu habis, jawaban dikumpulkan
padahal belum semua soal kukerjakan

Aku deg-degan
sebab kusadar semua yang kuinginkan
tidak tersedia di dalam kotak lembar jawaban

14/5/2005

16 April 2009

AKU, KEAGUNGANKU, DAN KELUPAAN

Betapa agung diriku
betapa aku diciptakan oleh diriku sendiri
si pemimpi yang dapat mewujudkan semua mimpi
tapi tak dapat menciptakan kesadarannya

Aku digerakkan oleh sekeping chip
yang menabung semesta data;
seperti data dalam memori
yang diam dan bergerak
seperti degup jantung
aku yang menciptakan, aku yang mengendali
tapi dialah yang memberi nilainya
aku memberinya sistem, nadi, kelenjar, pikiran
karena kehidupan adalah sebuah hierarki sistemis
sistem yang beranak-pinak sistem
sistem yang menciptakan dan diciptakan oleh sistem

Di bawah kubah langit, jagad semesta
sistem yang rapi, dawam, terkendali
sistem yang terkontrol, semilyar data
dalam kungkung kangkang “kun”
masya Allah “fayakun”
kita bergerak dalam database
membangun peradaban angka-angka
ringkas dan mampat

Makhluk agung ini dapat menciptakan apapun
ia menciptakan sistem sebagai bagiannya
sistem yang menciptakan sistem
yang menciptakan sistem
yang menciptakan sistem
yang menciptakan…
ia menciptakan kehidupan pada benda-benda
instrumentalia, komputerisasi, hidup dan mati
dengan dan oleh data

Meskipun dapat mewujudkan semua mimpi
makhluk agung ini tidak dapat melawan lupa
sementara basis sistem adalah kesadaran
rahasia penciptaan ada pada kelupaan
siapakah yang mampu melawan lupa?

Memori dan sistem tak punya perasaan
sistemisasi berusaha melawan kelupaan

Aku, betapa agung diriku
yang mampu mewujudkan mimpi-mimpi
tapi tak bisa memimpikan kesadaran
dari kelupaannya

15/12//2007


PETANI DAN PENYAIR

Petani? Bukan-nya buruh tani?
mereka yang punya nyali
berani menukar otot dengan napasnya

Subsidi? Subsidi apa?
subsidi buat apa jika lahan sudah tak ada?

Buruh tani membanting tulang
melawan harga tengkulak dan penimbun
melawan harga yang ditentukan pembeli
alangkah gelapnya!

Rakyat miskin memang selalu ada
untuk memberi perimbangan bagi kaum kaya

Pialang cemas pada fluktuasi
tidak takut pada yang lain
para petani mengkhawatirkan hama
tidak takut pada yang lain
kaum terpelajar memprihatinkan pestisida
tidak takut pada yang lain
sementara buruh tani tidak takut pada apa pun
apa yang hendak ditakutkan?
tak mungkin: takut pada diri sendiri

Barisan buruh tani, maaf
(ini bukan untuk para petani)
jika ratapanku kurang mewakili
karena saya juga sedang berduka
atas lahan bahasa yang penuh pestisida
atas berton-ton lema tanpa diketahui nasabnya
juga barangkali karena saya bukan penyair
hanya buruh kata-kata

17/05/2007

27 Januari 2009

LIRIK PALESTINA



Palestina!

Wahai bunda bagi bermilyar manusia. Gerangan apakah yang membuat air matamu berlinang tak selesai-selesai? Duka maha laksana apa kautanggung sehingga tangismu bagaikan drama tanpa penghujung; lakon panjang anak-anak menyandang senjata, bermain bersama martir, sementara para ibu menjadi janda di waktu muda, atau mati sebelum melihat anaknya dewasa, para pejuang yang gagah karena cinta tanah air, meskipun lemah karena hidupnya semakin rengkah?

Ke manakah anak cucumu jauh melanglang? Adakah para Yahudi itu tahu bahwa tanahmu selalu gembur karena basah oleh air mata, sementara engkau, ibu pertiwi yang menghidupinya, tersengal bila melenguh, tersendat saat bernapas, menahan sesak, memikul tragedi abadi semenjak awal mula drama kehidupan dimulai? Adakah para Kristiani itu membesuk engkau terbaring, terbujur, terlentang menahan sakit, mungkinkah mereka akan melupakanmu; tempat yang sangat mereka agungkan itu? Mungkinkah kaum Muslimin melupakanmu; tanah penuh sejarah tempat tonggak perjuangan ditancapkan?

Apakah mungkin derita ini adalah hikmah mulia yang terselubung kasat mata? Namun, mengapa mereka bertikai, ataukah hal itu merupakan wujud rasa cinta pada bundanya sebagai pembelaan?

Hingga sekarang, kecuali lirik ini, aku tak punya sapu tangan bagi air matamu yang tak habis berlinang.

Palestina!

Duhai bunda bagi bermilyar manusia. Apa kabar Yerusalem, yang kian tua oleh usia, tapi selalu muda untuk dicinta? Para nabi yang pernah singgah di sini, kalau saja sekarang mereka ada, sanggupkah tidak menangis ketika melihat kota­kotamu porak­poranda, bergelimang darah, bermandikan peluru, sementara di lain tempat, anak-anakmu hidup mewah dan pesta pora? Dan apakah pernah terbayang oleh nenek moyangmu para Punisia, bahwa bumi yang dulu mereka temukan itu bakal menjadi sebuah tanah subur bagi tumbuhnya pertikaian? Apakah mereka pernah menduga kalau tanah yang mereka puja selalu menangis tak ada habis­habisnya?

Palestina!

Sampai saat ini aku tak tahu, apakah dunia cukup kaya menyediakan air mata untuk menangis atas drama lukamu yang tak terhingga? Sampai saat ini aku tak tahu, dengan doa apa aku memohon kesejahteraan untukmu. Atau karena aku memang tak tahu, jangan-jangan pada kesedihanmu itulah terletak kebahagiaan semesta, dan di lukamu itulah, dunia mencurahkan isi hatinya yang kancap oleh air mata?

Hingga sekarang, kecuali lirik ini, aku tak punya sapu tangan bagi air matamu yang tak habis berlinang. Sampai saat ini aku tak punya cerita untuk melipur lara ataupun kata-kata yang tepat untuk mengucapkan belasungkawa.

Dunia, mari hentikan drama Palestina. Turunkan layar dan akhiri pertunjukan. Cukup pedih mata menangis. Cukup perih hati teriris.
Berakhirlah penderitaanmu, Palestina.

Damai dan sejahtera bagimu.

Amin.

(dicuplik dari buku kumpulan lirik "Sareyang", Pustaka Jaya, 2005)