01 Februari 2008

Rumah Bersama




PERMAISURI MALAMKU


Kerlip mata malammu
jumpalitan jatuh ke cahaya mukaku
Kita memang tidak saling bersama
sebab ruang tempat aku duduk
di balik meja melihat cakrawala
begitu jauh pada batas dimensimu
kita, sama-sama benda yang hidup
tapi berbeda dalam pengertiannya

Di sini, aku telentang sendiri
menatapmu, pendar-pendar kristal bertabur
yang indah karena berserakan
kelipnya, jumpalitan bintang-bintang di sana
aku menakar batas akhir kemampuanku
menjangkau sumber cahaya

Malam membangunkanku
pada kehendak membuat perhitungan
antara gelap dan kebekuan
atau siang dan kecemasan
lalu kutulis sebuah surat untukmu:
malam adalah matahari terbenam
meski tak sungguh-sungguh terbenam

Maka, kedip matamu
ribuan bintang, jumpalitan dalam sekejap
dan aku segera menghitung nasib
memang benar, kita tidak bisa bersama
bagiku ruang, bagimu waktu

Kujulurkan jemari
menangkap dengan tangkup
berdebar dalam takut
hujan bintang-bintang
ke halaman luas mimpiku
menghamburkanmu ke serambi tidurku
aku menghitung-hitung saat
berbagi dua dengan waktu
menjadi satu dengan malammu
dalam ingatan yang tak lengkap
saat cahaya bermakna bagi gelap
dan kubiarkan sepi melukaiku:
butuh perih untuk menghargai nikmat

Permaisuri malamku
selalu datang dengan tanpa kehadiran
dalam rentang yang tak terjangkau pandang
karena jarak yang menghubungkan aku denganmu
semata patahan-patahan garis
yang tak henti-hentinya digabungkan
dalam sebuah pengandaian

27/06/2006


BERJALAN DI MALAM HARI

Gemersik pikiran
melayang-layang
menimbuni kesadaranku, satu-satu
berjalan di malam hari
perjalanan magrib menuju pagi

Malam melepas penat
menelungkup di perut waktu, rehat

Malam, mengulur gelap dan sunyi
igauan pemimpi yang tandas
meneguk anggur mandam kepayang lelap
kuli waktu, setiap detik dalam 24 jam
melipatgandakan kesempatannya
malam, beribu kilometer berjarak
pada tapak kaki menjejak
bergegas, merencanakan cita-cita hidup di dunia:
bekerja, dan tak henti-hentinya bekerja

Lengang, menuju pagi
titik embun mengeras
molekul jam menetas
mewarnai wangi dan buram dini hari
seseorang yang bertahan hidup
hanya karena tegar mencari kayu
menguji kesetiaannya sebelum pagi
pada ujung lalang yang menusuk kaki

Pikiran terus melayang, luruh
bersinggung dengan diri yang gaduh
di manakah tenangmu disimpan?
apakah pada sajadah di pijakan kaki
hingga aku limbung saat berdiri?

Gelisah dalam pikiran
kantuk dalam pikiran
sakit dan sendiri dalam pikiran
mencapai-capai tak sampai
di mana subuhmu tersimpan?

Gelap di luar, terang di dalam
wujudku pecah menjadi dua:
diri yang diam, diri yang berjalan
satu dalam ruang
yang lainnya menjelajahi
jengkal demi jengkal ingatan
mengukur jarak antara siang dan malam
sepanjang aku sampai tak mampu
mencapai titik pertemuan cipta
saat gelap berjumpa cahaya

28/06/2006


RUSUK LANGIT LANCARAN

Juli menyeka keningnya
keringat musim yang ditinggal dingin
berbulir, seperti bintang kemukus
memerciki ladang-ladang tembakau
lalu, langit hilang warna dasarnya

Rusuk langit Lancaran, sebelah kanan
patah oleh hempasan musim
kemarau, kemarau
engkau membara di dalam pikiran
tetapi seperti pandai besi menempa nasibnya
di situlah percik api hidup kami dinyalakan

Rusuk-rusuk langit berpentalan
berserakan di lahan tandus
di mana air dan nyawa
nyaris berimbang dalam selisih harga
lalu, burung-burung gagak itu
datang mengumumkan kecemasan
melayang-layang dari semua penjuru angin
membekukan ketakutan kami untuk ingin
mereka merabunkan mata
agar kuat mengisap udara

Rusuk langit bulan Juli, Lancaran
kubacakan untuknya mantra-mantra
agar para peneluh dari masa silam
berduyun-duyun mengembalikan sejarah
yang hilang dicuri cuaca

Lihatlah, ke langit yang lampang
ada luka besar, berlubang
kini, kita bebas melihat
bagaimana langit menghirup
udara bumi kami yang mulai berkarat
menggumpal, lalu jadilah hujan keringat
untuk memandikan jenazah para petani:
pahlawan yang dikubur di luar ingatan

11/07/2006


SEJENGKAL LAGI MENYENTUH LANGIT

Jentik petir
jemari langit
yang menggigil
saat menghunjam titik nadir
menggetarkan keberadaanku
sebagai manusia yang selalu berpikir
melalui panas dan dingin

Sepanjang musim, sepanjang hidup
langit-bumi bertukar kabar
tentang keinginan-keinginan manusia

Dari bumi,
kujentikkan jemari ke langit
mencari napas nenek moyang
yang pergi untuk melupakan batas-ruang

Dari langit,
petir menusuk ke sebalik bumi
menjentik syahwat di tanah maksiat
yang menjadi kerak di dalam otak

Malam, sejengkal lagi pagi
hidup, sejengkal lagi mati
dan, hup, bismillah kubaca
aku melambung, pulang ke rumahku
bersama petir kembali ke angkasa
sampai sejengkal lagi menyentuh langit
biar dapat kulihat dunia
lebih kecil dari yang semestinya

22/06/2006


DI BUMI TAK ADA LAGI RAHASIA

Bumi
rumah sekalian kami
adalah bayangan
yang batasnya akan raib
saat sumber cahaya dipadamkan

Dan, rahasia-rahasia tak ada lagi di sini
yang bergerak dalam pikiran
yang berdetak dalam hati
saling dicuri dan diperjualbelikan

Rahasia-rahasia menyingkir
dari muka bumi ini
yang sakral dan profan
yang maya dan nyata
semakin tipis batas nilainya

Di sini tak ada lagi rahasia
hanya di langit, rahasia Tuhan tetap terkunci
sedangkan di bumi,
berharap sembunyi pada puisi

21/07/2006


PATAPAN-NUSANTARA

Ke lengkung langit timur
tengah malam, saat jemari para pahlawan
mengusap ubun-ubun Nusantara di muka bumi
ujung gerigi ulir bintang mengukir
gugusan rejang rajah tapak kaki peziarah
aku datang, Patapan
pejalan ribuan mil ke tanah silam

Aku dan masa lalumu:
berbaring, beradu punggung di hening pucuk tidur
agar dalam mata yang sama-sama mengatup
ada titik yang sama-sama dipandang, kegelapan
meski bunga mimpi tak sama saat menguncup

Berjalan di pematang-pematang kertas
yang berdenyar oleh tinta sajak-sajakmu
kurasakan tapak kaki melesak, jejak berkerak
ujung apakah namanya
bagi pengembara yang lupa langkah kakinya?
engkau membacakan kitab hayat bait terakhir:
batas apakah namanya, jika gerak adalah berpikir?

Doa lengang para pertapa
mengangkut bermilyar kubik debu
bersamaku, tiba di selasarmu:
oh, lama nian tak ada tamu

Aku dan mata sembab kesedihanmu:
seperti tembarau dan rumput gelagah
menyuling embun surgawi dari pancuran langit
serupa lidah sidang fakir saat mencecap ludah
lumpuh dan tabah, tapi tak mau jika harus menadah
namun aku kecut takut bersama jerit
sementara engkau tegar menantang sakit

Hidup derana di negeri gemah ripah loh jinawi
tentu tidak seperti degup majas di dalam puisi
karenanya, Nusantara harus dipetakan kembali
agar masa lalu dan mata sembab kesedihanmu
menjadi ibukota seluruh fakir-miskin rakyatnya
di dataran tinggi keinginan para pahlawan
yang tak terkabul karena tamak-loba manusia

Jadilah yang tertinggi, Patapan
sebab hanya di tempat yang tertinggi
semburat cahaya sempana langit Nusantara
tiba pertama kali di muka bumi

09/2006


CANDIN-MANDANGIN

Diterbangkan oleh angin gending
melayang-layang di atas buih
untuk mengunjungi seorang kawan
yang bertapa mencari napas Bangsacara
di Gili Mandangin
di bawah purnama gemilang
dengan kepungan awan putih ledang

Di sini, di pulau yang diterbangkan angin
nyaliku habis oleh tunggu
karena harus pulang
sebelum bunga-bunga laut merekah
padahal, ia hanya sekali
dalam lama dan panjang penantian

Seperti seorang pelaut
yang berlayar lalu pulang dengan tangkapan
tiba-tiba aku ingat sesuatu
yang menghabiskan semua niat
untuk bertahan:
seorang Ragapadmi
dengan kesendirian sebagai kecantikannya

07/10/2006


WARNA LAUT

Memasuki Tanglok
dengan sesuap kecut dalam ucap
membawa degup laut ke darat
degup rindu menjelang sekarat
aku akan tiba di hatimu kembali
dengan selamat

Pelayar, alangkah gagah
bukan karena laut yang tak bertepi
tetapi karena aroma matahari
di dalam tiap tarikan napasnya
terasa berbumbu, kuat sekali

Sungguh, aku tak benar-benar ingin
melukiskan perjalanan itu sekarang
sebab cerita tentang warna laut
tak akan sepenuhnya utuh
andai kuceritakan ia kembali di darat

08/10/2006


SUMPAH PENYAIR

Hari ini, aku pergi mengembara
mencari kembali rumah bahasa

Kata-kata berdesing, di jalanan
membawa kisah veteran
yang bertahan hidup melawan lupa
dan para penyair yang takut
pada hantu-hantu pikiran
mematuk khayalnya
berusaha melupakan kenyataan

Hari ini, aku memohon ampun
atas lacur bahasa yang hancur
sebab merendahkan leluri leluhur

Hari ini, aku kembali pulang
ke rumah yang lama kutinggalakan
rumah rumpun bahasa ratusan
rumah bersama suku berinda
sampai aku benar-benar jadi tua
mengatak kata-kata

Penyair yang tak berdaya
menguapkan cinta dan citra tanah air
kapankah nikmat menggubah syair
agar seluruh kata menyebut Allah
dalam berdzikir?

Hari ini, aku pulang ke rumah bijana
pulang ke rumah kita:
Bahasa Indonesia

28/10/2006


SALAM UNTUK PENYAIR

Aku berlindung dari silap kelih penyair
yang melihat sembilu seperti belati
karena pandangannya adalah “seperti”

Aku berlindung dari khayal penyair
yang mabuk mandam sajak-sajaknya
lalu mengatakan separuh puisi
dan menyimpannya separuh lagi

Aku berlindung dari sajak penyair
yang menyepuh hak kepada batil
karena kebenaran yang disamarkan
pada majas menipu tafsir

Aku berlindung kepada Allah
yang melaungkan jalan pulang
bagi puisi di rimba bahasa
menulis sekarang untuk esok dan lusa
membaca yang fana untuk yang baka

Jika hidupnya sebatas usia
tentu dia bukan penyair
karena kata dalam sajak
selalu habis di ujung larik bait terakhir

(bersambung…)

8-10/2006


SURGA DUNIA

Surga adalah kehendak
dan dunia adalah keterbatasannya

Surga dunia, fuh!
sajak indah persebalikan
sumpah serapah yang terkabulkan

Rentang, di saat satelit memangkas jarak
akal, di saat komputer menggantikan otak
akhirnya, kehendak terbatas
pada ketakterbatasannya

Surga dunia
dan sajak persebalikan itu adalah:
bukan lautan, hanya kolam lumpur
tak ada perang, gempa pun jadi
rakyat terdidik, menipu kian cerdik

Kehendak yang tak terbatas itu
oh, surga dunia
siapakah yang benar-benar ingin hidup
untuk selama-lamanya?

12/01/2007


‘ALA WAZNI

Namanya pen-ja-hat,
dengan alasan sering tertangkap
nama diganti dengan yang lain
kadang koruptor, kadang maling
nama lama diduga tak sehat
sebab mengandung huruf ‘illat

Demi membuang faktor sial
dan menaikkan nilai jual
sebuah nama perlu diganti
walaupun tetap sama arti
penodong dan penjilat sama jahat
beda teganya
perampok dan koruptor sama kotor
beda nyalinya
kalau saja kepergok petugas
akan menerima terapi penjara
meskipun tak sama rawat inapnya

Ganti nama, mentalnya sama
ganti naskah, lakonnya sama

Dari satu akar kata
nama dibentuk aneka rupa
perampok, koruptor, penodong, penjilat
matra wazan-nya pasti punya nilai cacat
jika ditasrif selalu mengandung huruf ‘illat
‘ala wazni pen-ja-hat

16/6/2005


MATTALI DAN MARKOYA

Sekali ini, perkenankan diriku
menyampaikan kembali cercaan mereka
yang membenci karena kita dianggap beda

Engkau yang gagah dan kekar
mereka bilang selalu tertinggal
kalian yang cantik tanpa kosmetik
kata mereka norak saat berdandan

Oh, kejam betul mereka menilai
apalagi bila kita semakin dipojokkan:
menghamburkan duit untuk jajan
tetapi pelit untuk urusan keilmuan

Mattali-Mattali zaman sekarang
bercita-cita jadi bintang televisi
mungkin karena impresi masa muda
yang penting tenar, akibat urusan balakangan
lupa pada kisah Kurt Cobain
yang tak tahan menanggung namanya
karena popularitas yang sangat cepat
menyulap hidup berubah 180 derajat
atau John Lennon yang mati dibedil fansnya
dia yang dulu ketika jaya
mengaku lebih terkenal daripada tuhannya

Markoya-Markoya zaman sekarang
mengidolakan Britney dan Agnes Monica
bukan pada Aisyah atau Khadijah
lebih kenal Florence Nightingale
daripada Laila al-Ghaffariyah
kini, mereka tidak pemalu seperti dulu
sebab gaul, nonton sinetron, dan juga maju
tapi sayangnya, bila datang si hidung belang
dengan busa di mulut dan jurus gombal maut
Markoya sekarang ternyata lebih mudah ditipu

Taretan Maduraku!
atas dakwaan mereka
aku sakit hati tak bisa menerima
aku tak mau bangsaku dianggap nomer dua
tapi yang bikin lebih sakit hati
saat aku berjumpa dengan mereka
berbangga-banga mengaku lainnya
karena minder kalau mengaku orang Madura!

Taretan Maduraku!
kalau kalian mau sekuler-sekuleran
sudah keduluan Perancis
dan kalau mau sombong-sombongan
selalu kalah pada Amrik
lalu, mengapa harus menjadi orang lain
jika bisa menjadi diri sendiri?

Mattali dan Markoya-ku
mohon maaf jika ini kauanggap petuah
sebab ini puisi, bukan khotbah
hanya karena aku merasa tak tahan
jika anggota keluarga besarku disepelekan
agar tak jadi genus terakhir sebelum punah
lalu Madura terhapus dari kitab sejarah

Taretan Maduraku!
sekali ini ada baiknya kita bertanya:
jika Arab punya Yasser Arafat
dan Afrika punya Nelson Mandella
lalu, Madura melahirkanmu sebagai apa?

27/8/2005



‘ala wazni, secara harfiah, berarti “sama dengan…”. Di dalam Ilmu Tashrif (sistem perubahan bentuk kata; konjugasi) ‘ala wazni digunakan untuk menimbang suatu kata pada kata dasar acuannya (wazan).

Mattali dan Markoya adalah sebagian nama tokoh di dalam drama radio yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Sumenep (Madura). Drama radio ini sangat populer sejak tahun 1980-an.

18 +




18 TAHUN KEMUDIAN…


Delapan belas tahun kemudian
hidup menemukan gairah
seperti kuncup lalu merekah
tapi hanya sebentar
sebab ia berada di persimpangan;
antara irama hidup yang mengalir lambat
dan musim rontok yang datang cepat

Lalu, datanglah masa setelah itu
lelaki­lelaki, wanita­wanita
senyum­senyum, gaya­gaya
di atas catwalk bertabur bunga
dan di luar itu
yang lain melempar dadu
di meja usia

Lambat laun, satu­satu, berangsur samar
yang dulu tunggal, kini taksa
saat berita dan prosa menjadi puisi
karena yang literal jadi metafora
sementara mata kata mengerdip
pada gemerlap tubuh dunia
berubah,berubah ke apapun warna

Delapan belas tahun kemudian
kelenjar­kelenjar kian mengembang
jantung berdenyut seperti hiphop
melampaui segala genre pop
dan hidup menjadi lebih terasa:
dandan tampil beda
rajin spa, sauna, mandi bunga
menawar usia dengan surga
hingga suatu ketika datanglah orang­orang
berjalan terbungkuk memikul tanya
‘benarkah hidup berangkat tua?’

Sejak itulah awal cerita dimulai
seperti halnya mereka, aku pun sama
mencari sesuatu yang tak ada di dalam diri
seperti guru­guruku, dan seterusnya
hingga aku pun berubah
bertanya sambil berbenah
lalu berhenti di suatu puisi:
itulah rasa bagi kata
itulah darah bagi luka

10/2002


PENANTIAN

Aku menunggu seseorang
ketika hari senja
sampai datang padaku gelap
dan meyakinkannya tiada

Aku menunggu seseorang
ketika daun-daun menguning
dan musim hujan mengabariku,
“Ia tak mungkin kembali.”

Aku menunggu seseorang
ketika usia semakin lapuk
hingga datang padaku sekarat
dan memberiku air mata

Aku menunggu seseorang
yang membiru kurindu
membawa badik karat
berlumur cinta

4/1997


BAYANGMU ABADI

Tak kuasa lagi kutanggung gelisah
meski rindu tetap membiru
aku mengungsi darimu

Pada awal cahaya semburat fajar
engkau menjadi titik bias matahari
kesadaran penghujung mimpi
sebab silau aku menjauh ke gelap malam
namun engkau pun rembulan
menyelimutiku dalam geletar

Menembus hari aku berlari
meninggalkanmu dalam segala gemerlap
aku menghilang dalam halimun sunyi
tetapi engkau menjelma sepi

Aku mengungsi darimu
memasuki gua demi gua, aku bertapa
membentang sayap ke alam moksa
aku samadi, tapi engkau pula tercipta

3/1996


MELODRAMA GADIS DESA

Gadis berambut ikal, dikepang
duduk berteleku pada nasib
di bawah langit pesta panen
‘kenapa Dewi Sri tak kunjung datang?’

Ia akan berangkat ke kota
sebab di desa
langit tak lagi berwarna
sawah ladang diserang hama
kali kering berampas kerikil
ia melihat dunia
hanya sebutir jagung
tak ada harganya

Gadis desa benar-benar berangkat ke kota
tempat kelak ia terpedaya
di mana air mata menetes percuma
namun saat ini ia tak tahu
karena peristiwa itu
berada di akhir cerita

10/06/1998


JANGAN BERCINTA DENGAN PENYAIR

Aku menghuni sunyimu
dengan simponi angin mengiringi pencari kayu
engkau melambung ke angkasa
langit yang entah berbatas mana
lalu, kutitikkan untukmu puisi:
setetes madu lebah putih
dari rimba tempat Arjuna mengelana

“Aku kekasih paling kekasih,”
begitulah bisikan penyair
tapi karena engkau terlanjur percaya
pada kata-kata para pujangga zaman romantik
maka tak juga jera
engkau menjadi yang kesekian,
yang keberapa

Sekarang, bilang!
“Aku musuh penyair, aku musuh penyair
mereka yang lahir dan mati di taman bunga
tanpa pernah tahu, kalau dunia ini sepenuhnya neraka!”
sekarang, katakan!
bahwa cinta adalah Rahwana
dan Shinta tak pernah lahir untuk Rama

Bertualanglah dengan siapa
sampai engkau merasa yakin
bahwa selain aku,
semua yang membual padamu
adalah bajingan

6/2001


PELAYARAN I

Bermil-mil jauh kutinggalkan dermaga
dengan dayung patah dan layar cabik
namun jika seseorang telah lama menunggu
dengan dekapnya yang hangat
di dasar samudera
karamkan kapalku
kirim aku badai

1994


PALESTINA

Dari balik rintih Palestina
terdengar jerit seorang pemuda
yang membenamnya dalam sejarah tangis
dan gugur air mata
seperti layu kemboja
bernisan lengang amis darah
pergi bersama angin

Di lorong-lorong Jericho
detak maut lewat bergegas
melintas di antara grafiti gelap
yang menyimpan sejuta murka
sementara Israel memburu mahasiswa
Intifadah bentrok di jalur Gaza
kepada anaknya, seorang pejuang berkata
“Semalam aku mimpi Musa
membawa tongkat dan kitab
hendak bertitah di puncak Sinai
: sebab apa damai masih berdarah?”

Dan kini, tinggallah belasungkawa yang basi
mengalun perih tak tertakar
maka lagukanlah himne tangis
lewat kesempitan cinta yang terjual
meski air mata bukanlah jawaban
tapi karena tak satu pun elegi
maupun balada
yang melebihi nyeri Pelestina!

1994/1995


PUISI UNTUK PENGGODA

Di cuaca 23°c
aroma pleasure-mu menyalak
aku tersedak
bikin gagap
memilih senyum ketimbang berucap
aku berdecak, tapi tak kagum
hanya coba menyanjung

Tiba-tiba kuteringat
indahnya menentukan kencan pertama;
saat paling berkesan
tapi mudah kulupakan
karena ternyata
keindahan itu lebih mudah kudapat
di dalam kota metropol hatiku
seorang diri saja
belajar menjadi tunanetra
ketika gagap berucap
melihat tak dapat

Karena itulah, perawan
sorry banget,
aku nggak tergoda!

9/2001


SAJAK KERAGUAN

Saat kuucapkan padamu
kata-kata Hamlet pada Ophelia;
‘janganlah bimbang bahwa aku cinta’
seperti itu pula aku
pada cahaya matamu yang laut
aku bimbang
pada senyummu yang ajaib
aku ragu

Namun ketika engkau ucapkan padaku
kata-kata Ismail pada Ibrahim
maka benar-benar aku telah menjadi
seorang filsuf yang terkulai
oleh sengatan cinta

1996


MENCARIMU

Cintamu adalah gelombang
tapi ia adalah pantai
yang membuatnya jadi buih lalu tiada
cintamu adalah hujan
tapi ia menjadi bumi
yang menyerapnya sepanjang musim

Ketika kaubacakan aku sajak dua seuntai;
senyum dan air mata
sebagai ritus abadi
bagi pesta di persimpangan musim
aku terperanjat dalam igau
akukah ia yang kausebut udara
dalam pusaran angin?

Cintamu adalah keraguanku
seperti isyarat perenjak yang terusir
dari jalanan tengah kota
sepanjang trotoar sepi aku mencari
sepanjang jangkauan khayal aku menggapai
hingga mimpi usai dalam bimbang

Kalau saja harus kucari cinta dengan filsafat,
engkaukah kebenaran itu?

5/1996


SAIPIANGIN

Saipiangin,
ringankan tubuh
akulah angin
di mata badai
jangan kaukejar
kakiku seribu
menderu tak bersiru
jangan rintangi
tak ada kata henti
dalam lariku

3/06/2002


UMMI, MARI OBATI LUKA ANAKMU

Ummi, mari obati luka anakmu
nyeri di hati tak kunjung usai
kiamat akan datang hari ini
mari dekap, aku dalam takut
biarkan darahku memancar ke langit pucat
melukis samudera cinta yang mengarat

Ummi, inikah dunia yang kaujanjikan
setelah kausepuh dalam sembilan bulan?
kilaunya membuatku menangis
seperti Adam terusir dari Sorga

Ummi, mari segera obati lukaku
aku ingin tersedu sedan di pelukanmu
perjalanan sia-sia, lelah adanya
kaki tertusuk duri
hati berbalut kabut
mata buta sepanjang abad

Ummi, mari obati luka anakmu
karena hanya engkau yang berdoa
di antara lolong seribu serigala
hanya engkau yang dekap aku
ketika seribu gigil dikirim angin

Ummi, mari obati lukaku
aku akan segera menangisi
kepekat-gelapan duka dunia
dalam se-dzarrah dada ini

Ummi, mari obati lukaku

12/1995


3869

Menyusuri aspal hotmix
dalam kegelapan
melaju, melesat mendahului jam
ratusan kilometer terasa sejengkal

Trailer, bus, wagon, sedan
menjadi instrumentasi malam
tetapi tetap harus didahului
biar ajal terus membuntuti

29/8/98


KE TANAH MELAYU

Aku telah terpuruk begitu jauh
ketika surat yang kaukirim
dari Pulau Penyengat
menaburkan sepeti mutiara
bagai buih disibak kapal
di pantai Dumai
tapi para nelayan membiarkannya
dipatuk camar
karena Bagansiapiapi
tak lagi menyalakan mercusuar
mereka pingsan dengan kail jala terbiar

Sepertinya mereka telah lupa
menawar pukat dengan semangkuk garam
tentu bukan karena said dan tengku
menatapnya dengan diam
atau karena angin laut meniup kabar
dari Batam: igauan dari jauh
tapi mungkin karena tak tahu
Raja Ali Haji pernah menulis Gurindam

Begitu larut aku terperangkap
dalam halimun rasa dan kata
saat kaubangunkan aku
dengan ‘Semalam di Malaya’
begitu jauh aku tersesat di Batanghari
mendayung syair perahu Hamzah Fansuri
hendak menemuimu yang terisak sendiri
tapi jangan sambut aku dengan upacara
karena aku membawa luka
karena aku hanyalah pengembara yang hina

1/1997


MALAM DI JAKARTA

Malam turun di Jakarta
sebelum maghrib, sebelum jamnya
kontainer panjang dari luar
mengangkut berjibun masalah
mengirim babu-babu, buruh kasar, dan banyak lagi
hendak pulang kampung
ke bukan kampungnya

Malam cepat berangkat tua
merkuri pecah sebelum menyala
dan gelap, sekental kopi tubruk
menemani gelandangan, menunggu pagi
dan di negeri aneh ini
—bahkan aneh sekali,
pagi tak pernah datang lagi

Malam tak sudi pergi
subuh tak mau datang
siapa yang berangkat kerja?
Jakarta ditutup untuk umum!

03/05/2002


PADA DETIK PERTAMA MILENIUM KETIGA

Pada detik pertama milenium ketiga
sepatah subhanallah lantun dari sepasang bibir
yang merah dikecup dzikir
“Inilah milenium agama, kapitalisme telah renta.”


Pada detik pertama dari dua ribu tahun kelahiran Isa
satu gelombang ultrasonik memancar
dari mulut seorang ulama yang menukil kisah nabi-nabi
dan kabar kiamat pun dikumandangkan;
“Ia tiba sebentar lagi.”

Pada detik pertama milenium ketiga
Abrahah dan Fir’aun, si kembar anak Adam
lahir kembali, tertawa lalu menyiapkan bala tentara
Abrahah ke Timur Tengah, Fir’aun ke Asia Tenggara
pada detik pertama dari sejengkal jarak ke Perang Dunia ketiga
segunung api meruyak ke penjuru dunia

Pada detik pertama milenium ketiga
kitab-kitab suci semua agama dibacakan
bersama itu, dawai-dawai semua harpa kematian didentingkan
pada kejap pertama, di detik pertama milenium ketiga
bersaksilah sangkala; “Rapatkan semua pintu. Tutup semua jendela.
Sudah saatnya wasiat ditulis, cukup tua usia dunia.”

11/1998


PADA DUA BELAS KELUK GURINDAMMU
­­mengenang Raja Ali Haji

Pada dua belas keluk gurindammu
aku akan mengalir seperti air
membaca ikan, batu di sungaimu
aku akan bertiup laksana angin
meraba luas angkasamu

Pada dua belas keluk gurindammu
menggali catatan hari­hari
yang lepuh tertimbun jauh
membaca tanda­tanda
yang samar tersisa

Pada dua belas keluk gurindammu
aku mencari dirimu
di saat tak mengerti lagi
pada isyarat cahaya
yang kautawarkan tak henti­henti

1/1997


DITULISKANNYA SEJARAH
---Thariq Bin Ziyad

Setelah menaklukkan Andalusia
Thariq Bin Ziyad kembali ke Gibraltar
memandang laut, mengirim kabar ke jazirah Arab
bersama deburnya, ia nyanyikan kemenangan
“…betapa luar biasa besar.”

Arkian, bersujudlah
berlalu di hadapannya
angin menuliskan Cordoba dan Alhambra
di atas pasir
dia sadar, tulisan itu, sebentar kemudian,
dihapus lidah ombak yang datang

Tak seorang anak cucunya pun tahu
bahwa Thariq, sebelum meninggal, sudah menulis pesan;
“Bila kalian hanya menjadi sisi suatu kutub
di antara neraca kuantitas peradaban
niscaya hanyalah sebutir pasir
di sepanjang pantai kemegahan dunia.”

Waktu yang melesat-lesat
membisikkan kalimat Thariq yang tak sempat terkata
pada belahan bumi Asia
“Sejarah dan penyesalan terlanjur sepakat
untuk terjadi dan ditulis pada setiap usai peristiwa.”

11/1998


TENGAH MALAM

Tengah malam sunyi
mimpi buruk membangunkanku
dari cengkeram taring pekatnya
aku takut, Gusti
ingin bersujud dan menangis pada­Mu
tapi kantuk mata
mengalahkan segala­galanya
aku hanya mohon ampun;
aku meneruskan tidur!

4/1997


M-18

Aku menyulutmu purnama
sepanjang perbani adalah wujudmu wanita
“Di labirin hidup, akulah sepercik api
berkilat di tepinya yang gulita,”
katamu datar

Aku menyanjungmu pesona
sepanjang sejarah menuliskanmu luka
“Aku percaya padamu
tapi tidak pada cinta
karena pada akhirnya
hanya akan menguasai.”

Aku menyulapmu sajak
engkau hilang bentuk rima dan matra
“Aku percaya padamu
tapi tidak pada puisi,”
katamu menyela
“karena pada akhirnya
hanya akan melukai.”

9/2000


AKU BUKAN SEORANG WIRA

Sebenarnya aku yakin
engkau tahu sebenarnya
uap asmara yang kausimpan
dalam tabung hati seorang perempuan
hanyalah sepatah kata bila diucap
yang tak dapat membasahkan bibir

Biarkan seseorang datang untuk mengucapkan cinta
meski kausadar ia mungkin mendua
sebab itu jangan tunggu aku
membawa setangkai mawar merah menyala
lalu kaubayangkan diriku
sesosok wira laksamana

Entah kapan, aku akan datang
tapi tidak untuk mengucapkan cinta
sebab aku yakin
engkau tahu sebenarnya
pada saat itu aku sedang berdusta

Besok atau lusa
orang-orang akan berdatangan
sambutlah, mereka adalah para wira
tapi aku yakin
engkau tahu sebenarnya
aku hanyalah seorang prajurit
yang terusir dari medan laga
dari dadanya darah mengucur
dan engkau telah mengobati luka-lukanya

09/2001


PULANG KE RUMAHMU

Hanya seutas kenangan
dawai cinta kecapi mimpi
mainkanlah ia
hingga larut ke masa silam
lari lagu ke legenda
engkau menyebutnya mitologi cinta

Hanya seutas rindu
jalan pulang ke rumahmu;
angin senyap dini hari
aku talah memainkannya
dengan semangat serangga
mencari makna malam
yang sekejap menjadi pagi

7/1996


M-17

Bagiku
engkau memang bukan segalanya
tapi nyaris

10/1997